A.
Al-Hakim
Di
antara masalah yang sangat penting yang harus dijelaskan dalam kajian syari'at
Islam, ialah mengetahui siapa yang berhak mengeluarkan hukum, yakni siapakah
Sang Pembuat Hukum (Al-Hakim) itu.
Golongan
Asy'ariyah berpendapat, bahwa sebelum datang syara' tidak diberi sesuatu hukum
kepada perbuatan-perbuatan mukallaf. Golongan Mu'tazilah dan Asy'ariyah
sependapat bahwa akal dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk,
yakni yang bersesuaian tabi'at: dipandang baik oleh akal dan yang tidak
bersesuaian dengan tabi'at dipandang buruk oleh akal.
Titik
perselisihan antara golongan Mu'tazilah dengan golongan Asy'ariyah ialah
tentang apakah perbuatan itu menjadi tempat adanya pahala atau siksa,
tergantung pada perbuatan, walaupun syara' belum menerangkannya, sedangkan
golongan jumhur berpendapat, bahwa tidak disiksa dan tidak diberi pahala
manusia sebelum datang syara' kendati akal bisa mengetahui baik buruknya
sesuatu perbuatan. Seluruh kaum muslimin bersepakat, bahwa tidak ada hakim
selain Allah.
Tolok
ukur ini adalah hukum syara' yakni aturan-aturan Allah SWT yang dibawa oleh
Rasulullah saw dan bukan akal dan hawa nafsu manusia. Sehingga apabila syara'
menilai perbuatan tersebut terpuji (baik), maka itulah terpuji (baik) sedangkan
apabila syara' menilai suatu perbuatan tercela (buruk) maka itulah tercela
(buruk).
B.
Al-Mahkum Fih
Dari
pemahaman penulis, mahkum fih merupakan perbuatan mukallaf yang berhubungan
dengan hukum yang lima, yaitu ijab/wajib, nadb/mandub, tahrim/haram,
karahah/makruh, ibahah/mubah.
Syarat-syarat
mahkum fih antara lain: perbuatan itu diketahui oleh mukallaf dengan jelas,
sehingga dia sanggup melakukannya seperti yang diminta dari padanya, harus
diketahui bahwa pentaklifan itu berasal dari orang yang mempunyai wewenang
untuk mentaklifkan dan termasuk orang yang wajib atas mukallaf mematuhi
hukum-hukumnya dan bahwa perbuatan yang ditaklifkan itu mungkin terjadi,
artinya melakukannya atau meninggalkannya berada dalam batas kemampuan
mukallaf.
C.
Al-Mahkum Alaih
Mahkum
‘alaihi adalah subjek hukum atau yang dikenai hukum. Yaitu orang-orang
mukallaf.
Syarat-syarat
taklifi antara lain: harus sanggup dan dapat memahami khitah atau
ketentuan yang dihadapkan kepadanya, dan ahli dan patut ditaklifi. Yang menjadi
dasar taklif adalah kemampuan (ahliyyah) manusia. Kemampuan tersebut dibagi menjadi
dua, yaitu ahliyyah wujub dan ahliyyah ada’.
Halangan
ahliyyah yaitu hal-hal yang menghalang yang bersifat samawi, artinya
diluar usaha dan kehendak manusia, dan hal-hal yang menghalang yang
berasal dari usaha dan kehendak manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar