Pages

Minggu, 19 Mei 2013

Al-Hakim, Al-Mahkum Fih, Al-Mahkum Alaih


A.      Al-Hakim
Di antara masalah yang sangat penting yang harus dijelaskan dalam kajian syari'at Islam, ialah mengetahui siapa yang berhak mengeluarkan hukum, yakni siapakah Sang Pembuat Hukum (Al-Hakim) itu.
Golongan Asy'ariyah berpendapat, bahwa sebelum datang syara' tidak diberi sesuatu hukum kepada perbuatan-perbuatan mukallaf. Golongan Mu'tazilah dan Asy'ariyah sependapat bahwa akal dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, yakni yang bersesuaian tabi'at: dipandang baik oleh akal dan yang tidak bersesuaian dengan tabi'at dipandang buruk oleh akal.
Titik perselisihan antara golongan Mu'tazilah dengan golongan Asy'ariyah ialah tentang apakah perbuatan itu menjadi tempat adanya pahala atau siksa, tergantung pada perbuatan, walaupun syara' belum menerangkannya, sedangkan golongan jumhur berpendapat, bahwa tidak disiksa dan tidak diberi pahala manusia sebelum datang syara' kendati akal bisa mengetahui baik buruknya sesuatu perbuatan. Seluruh kaum muslimin bersepakat, bahwa tidak ada hakim selain Allah.
Tolok ukur ini adalah hukum syara' yakni aturan-aturan Allah SWT yang dibawa oleh Rasulullah saw dan bukan akal dan hawa nafsu manusia. Sehingga apabila syara' menilai perbuatan tersebut terpuji (baik), maka itulah terpuji (baik) sedangkan apabila syara' menilai suatu perbuatan tercela (buruk) maka itulah tercela (buruk). 
B.      Al-Mahkum Fih
Dari pemahaman penulis, mahkum fih merupakan perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum yang lima, yaitu ijab/wajib, nadb/mandub, tahrim/haram, karahah/makruh, ibahah/mubah.
Syarat-syarat mahkum fih antara lain: perbuatan itu diketahui oleh mukallaf dengan jelas, sehingga dia sanggup melakukannya seperti yang diminta dari padanya, harus diketahui bahwa pentaklifan itu berasal dari orang yang mempunyai wewenang untuk mentaklifkan dan termasuk orang yang wajib atas mukallaf mematuhi hukum-hukumnya dan bahwa perbuatan yang ditaklifkan itu mungkin terjadi, artinya melakukannya atau meninggalkannya berada dalam batas kemampuan mukallaf.
C.      Al-Mahkum Alaih
Mahkum ‘alaihi adalah subjek hukum atau yang dikenai hukum. Yaitu orang-orang mukallaf.
Syarat-syarat taklifi antara lain: harus sanggup dan dapat memahami khitah atau ketentuan yang dihadapkan kepadanya, dan ahli dan patut ditaklifi. Yang menjadi dasar taklif adalah kemampuan (ahliyyah) manusia. Kemampuan tersebut dibagi menjadi dua, yaitu ahliyyah wujub dan ahliyyah ada’.
Halangan ahliyyah yaitu hal-hal yang menghalang yang bersifat samawi, artinya diluar usaha dan kehendak manusia, dan hal-hal yang menghalang yang berasal dari usaha dan kehendak manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar