Menjadikan Ceramah Sebagai Profesi
1. Hukum Da’i Amplop
Pembahasan tentang “amplop da’i” masuk dalam wilayah pembahasan al-ujrah ‘ala al-thaa’ah, yakni mengambil upah atau imbalan jasa karena melakukan satu kewajiban. Tak terbatas pada dakwah dengan ceramah, termasuk mengajar Al-Qur’an, menjadi khatib, imam shalat, dan muazin). Di kalangan para fuqaha' ada berbagai pendapat mengenai masalah tersebut yang terpecah dalam beberapa kelompok.
Kelompok pertama, membolehkan secara mutlak, dengan alasan bahwa ceramah tidak lain dari kegiatan sebagaimana layaknya seorang guru atau dosen yang mengajar, maka mengambil imbalan dari pekerjaan sepertu itu boleh secara mutlak. Mereka yang mensejajarkan kegiatan berceramah dengan mengajar, mengatakan bahwa amat layak seorang penceramah mendapat honor atau gaji dari usahanya.
Termasuk dalam kelompok ini ulama dari mazhab Syafi’I dan Maliki. Argumentasinya, perbuatan yang dilakukan para da’I dan pengajar agama itu memberikan keuntungan bagi si pemberi upah, yaitu berupa ilmu pengetahuan, atau paling kurang informasi berharga. Selain argumen ini, mereka juga mempunyai dalil naqli yang diriwayatkan al-Bukhari, “Sesungguhnya yang berhak untuk kalian ambil upah atasnya adalah Kitab Allah (al-Qur’an)”.
Bahkan di masa Nabi, orang bisa mengajarkan 10 orang lain untuk bisa sekedar membaca dan menulis, mendapat imbalan yang sangat besar. Bahkan para tawanan perang Badar yang non muslim itu, akan dibebaskan dengan syarat bisa selesai mengajar baca tulis. Padahal kita tahu bahwa tebusan untuk tawanan perang sangat tinggi. Dan itu terbayarkan hanya dengan mengajar baca tulis untuk 10 orang saja. Hal ini menunjukkan bahwa seorang yang mengajarkan ilmunya berhak mendapat honor atau imbalan materi, bahkan dengan nilai yang lumayan menggiurkan.
Kelompok kedua, haram, memandang bahwa ceramah seharusnya tidak sesederhana mengajar seperti guru dan dosen, melainkan ceramah adalah sarana penyebaran ide, fikrah, aqidah, nilai-nilai agama sekaligus nilai-nilai perjuangan.
Kalangan ini lebih cenderung menganggap bahwa berceramah dianggap bukan pekerjaan profit eriented, namun lebih sebagai aktifitas seorang nabi kepada kaumnya. Bagi mereka yang berpandangan demikian, maka seorang penceramah tidak layak menerima imbalan berupa materi, sebagaimana seorang nabi yang tidak berharap sisi finansial dari aktifitasnya itu. Dan para nabi memang tidak meminta upah, honor, gaji, atau amplop.
Mereka pun berpedoman kepada ayat-ayat al-Qur’an yang menyebutkan ketidaklayakan menerima honor.
•
“Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Tidakkah kamu mengerti?”. (QS. Huud: 51)
“Katakanlah, “Aku tidak meminta upah sedikit pun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya”. (QS. Al-Furan: 57)
“Katakanlah,”Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas dakwahku. Dan aku bukan termasuk orang yang mengada-adakan”. (QS. Shaad:86)
Kelompok ini datang dari mazhab Hanafi yang diwakili Ibn Abidin, secara tegas menyatakan bahwa imbalan yang diambil dari usaha semacam itu hukumnya haram. Bahkan menurut Ibn Abidin, prinsip dalam al-ujrah ‘ala al-thaa’ah adalah hurmah (diharamkan). Kelompok ini berdalil bahwa perbuatan-perbuatan yang bersifat ibadah kepada Allah tidak boleh dipungut imbalan).
Para murobbi dan pembina halaqah tarbiyah bisa dijadikan sebagai contoh sederhana, mereka umumnya tidak pernah menerima imbalan uang atau honor. Meski mereka disibukkan dengan beragam jenis pembinaannya.
Semua dilakukan dengan ikhlas karena tuntutan perjuangan. Padahal jumlah halaqah pengkaderan mungkin ribuan jumlahnya. Namun tidak ada anggaran yang turun dari pusat, tidak slip gaji dan tidak ada tunjangan pensiun. Namun semua berjalan serta bisa melahirkan lapis demi lapis generasi rabbani.
Sedangkan kelompok ketiga, membolehkan da’i mengambil imbalan itu dengan syarat: jika itu menyita tenaga dan waktunya serta ia benar-benar membutuhkan imbalan dari pekerjaannya. Termasuk dalam pendapat ini adalah Ahmad Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah.
Menurut KH. Hasan Basri, ketua MUI Pusat , jika pemberian itu dilakukan dengan ikhlas dan tanpa ada perjanjian dimuka (memasang tarif harga), maka hukum imbalan itu “halal”, yang tidak boleh adalah mematok atau menentukan harga. Yang selanjutnya disetujui oleh da’i kondang, KH. Zainuddin MZ. Menurutnya mengambil imbalan “boleh-boleh saja”, asal tidak diiringi dengan harapan, Sebab, kalau dengan mengharap imbalan, persoalannya akan berkaitan dengan keikhlasan, jikalau keikhlasan itu hilang maka hukumnya menjadi haram. KH. Zainuddin menekankan bahwa sebenarnya yang diberikan kepada da’i itu bukanlah imbalan atas kewajiban melakukan tugas dakwahnya, melainkan jasanya.
Di negeri kita yang umatnya hobbi dengan tontonan, seringkali kegiatan ceramah dielaborasi dengan seni pentas dan pertunjukan. Kegiatan berceramah disejajarkan dengan pentas seni.
Mengenai pementasan ini, tidak bisa dilepaskan dari urusan dana dan finansial. Dan tidak aneh kalau kita sering mendengar bahwa seorang ustadz menerima honor sekian puluh juta rupiah untuk sekali mentas yang durasinya hanya beberapa menit saja. Maka terkenal istilah da’i sejuta umat dan da’i sejuta rupiah.
Logikanya, seorang artis yang kerjanya menebar maksiat dan cuma menghadirkan kebahagiaan sesaat, bisa menerima honor puluhan juta rupiah. Masak seorang ustadz yang sebenarnya juga diminati khalayak, kok cuma disampaikan ucapan terima kasih alias syukron? Bagi mereka amat layak bila pak ustadz yang menebar kedamaian, kebenaran, dan kesejukan iman, juga menerima honor sepadan dengan artis.
Bahkan ada yang mengatakan, seharusnya honor ustadz lebih tinggi dari honor para artis. Sebab yang disampaikan seorang ustadz itu adalah kebenaran hakiki, sedangkan para artis hanya bisa memberikan hiburan sesaat.
Memang sudah selayaknya seorang da’i mendapatkan imbalan yang layak untuk setiap ilmu yang disampaikannya. Da’i juga manusia,butuh sandang, pangan, papan,belum lagi jika harus ceramah di tempat yang agak jauh dan tidak ada penjemputan, sudah pasti butuh biaya minimal untuk perjalanan, karena para da’i ini telah mendedikasikan sepanjang hidupnya untuk kemaslahatan umat.
Sudah sepantasnya pula dari pihak yang mengundang baik itu Dewan Pengurus Masjid, Perkumpulan Pengajian atau perorangan memberikan imbalan yang pantas bagi para ustadz, mengingat para ustadz tersebut juga butuh biaya hidup.
A. PROSTITUSI DAN PERJUDIAN
1. Hukum Melokalisasi Perjudian
Menurut keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke- XXXI di Boyolali Solo Jawa Tengah 29 Nopember-01Nopember 2004 memutuskan melegalkan lokalisasi penjudian bukan taghyir munkarat, bahkan membenarkan, menolong, dan melestarikan kemaksiatan itu dan hukumnya adalah haram. Upaya taghyir munkarat justru dengan penutupan tempat-tempat maksiat dan memberikan hukuman kepada para pelakunya. Mereka mendasarkan pada dalil al-Qur;an surat Al-Maidah: 2
Artinya: dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.(QS: al-Maidah : 2)
Dan as-Sunnah
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول من رأى منكم منكرا فليغره بيده فان لم يستطع فبلسانه فان لم يستطع فبقلبه وذالك أضعاف الايمان( رواه مسلم )
Rasululllah SAW bersabda : barangsiapa diantara kamu melihat kemungkaran maka hendaklah ia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan berdoa dalam hatinya, dan itu merupakan iman yang terlemah. (HR. Muslim)
Seratus ulama Jawa Barat yang tergabung dalam Forum Silaturrahmi Ulama dan cendekiawan Jabar pada akhir April 1986 dengan tegas juga menyatakan Porkas sebagai judi dan haram. Pernyataannya disampaikan kepada pemerintah, agar Departemen Sosial mencabut ijin Porkas. Demikian pula beberapa Majelis Ulama Indonesia Daerah dan beberapa pemerintah daerah menyampaikan keberatan, kritik dan keprihatinannya terhadap akibat-akibat negatif yang timbul karena Porkas. Dan yang lebih memprihatinkan, ialah bahwa penggemar Porkas itu umumnya lapisan masyarakat berpenghasilan rendah. Bahkan telah banyak menyeret kalangan anak muda.
Muhammad Abduh sebagaimana dikutip oleh Rasyid Ridha menerangkan sebagian resiko/bahaya perjudian, ialah : merusak pendidikan dan akhlak, melemahkan potensi akal pikiran, dan menelantarkan pertanian, perkebunan, industri dan perdagangan yang merupakan sendi-sendi kemakmuran. Rasyid Ridha mengingatkan bahwa bahwa dalil syar’i yang mengharamkan semua perjudian termasuk lotre/undian itu adalah dalil yang qath’i dilalahnya, artinya dalil yang sudah pasti petunjuknya atas keharaman perjudian, sehingga tidak bisa diragukan sebagaimana terdapat dalam Surat al-Maidah ayat 90-91.
Artinya : 90. Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
91. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
Hanya saja, ada lotre atau undian yang diselenggarakan oleh pemerintah atau lembaga sosial nonpemerintah yang semata-mata untuk menghimpun dana guna kepentingan umum atau Negara, misalnya mendirikan rumah sakit, sekolah, meringankan beban fakir miskin dan sebagainya, bisa jadi tidak termasuk perjudian, karena tidak jelas adanya orang makan harta orang lain dengan cara bathil (tidak bersih), karena tanpa pertukaran/barang/uang/jasa/yang bermanfaat pada lotre/undian untuk kepentingan umum/Negara kecuali pada beberapa orang yang memperoleh keuntungan /hadiah karena cocok nomernya. Kalau kita perhatikan keterangan Rasyid Ridha di atas, tampaknya ia tidak mengharamkan lotre/undian berhadiah guna kepentingan umum atau Negara, karena manfaatnya lebih besar daripada mudharatnya. Namun, ia tampaknya tidak menghalalkan bagi orang yang cocok nomor undiannya untuk mengambil hadiahnya, karena dianggap makan harta orang lain dengan cara bathil, meskipun tidak menimbulkan permusuhan dan kebencian antara mereka yang turut dalam undian, serta juga tidak menyebabkan lupa kepada Tuhan. Sebaliknya lotre/undian yang diselenggarakan bukan untuk kepentingan umum atau Negara, maka dilarang oleh agama, karena madharatnya jauh lebih besar daripada manfaatnya, berdasarkan kaidah hukum Islam :
درأ المفاسد مقدم على جلب المصالح
Artinya : menghindari kerusakan-kerusakan harus didahulukan daripada menarik kebaikan-kebaikan.
Tampaknya pendapat Rasyid Ridha tentang lotre/undian berhadiah yang diselenggarakan oleh pemerintah atau lembaga sosial swasta guna kepentingan umum atau negara sama dengan pendapat Prof. K.H. Ibrahim Hosen, bahwa undian Harapan, Sumbangan sosial Berhadiah (SSB) dan sebagainya, seperti yang biasa diselenggarakan di dunia sekarang, baik oleh pemerintah (pusat atau daerah) maupun swasta, dengan tujuan keuntungannya dipergunakan semata-mata untuk tujuan sosial, pendidikan, atau kepentingan-kepentingan umum lainnya, bukan merupakan judi/maisir.
Alasan Prof. K.H. Ibrahim Hosen sebagaimana dikutip oleh H.S. Muchlis antara lain ialah : ’’Maisir/judi adalah suatu pemainan yang mengandung unsur taruhan yang dilakukan secara berhadap-hadapan oleh dua orang atau lebih’’. Jadi illat (penyebabnya) haramnya judi adalah berhadap-hadapan, dimana dalam berhadap-hadapan itu terkandung hikmah yang karenanya maka judi itu dilarang /diharamkan, yaitu menyebabkan timbulnya permusuhan dan kebencian antara pelaku dan menyebabkan mereka lupa kepada Allah SWT serta lalai dari kewajiban-kewajiban agama. H.S. Muchlis pada prinsipnya dapat menerima kesimpulan Prof. K.H. Ibrahim Hosen di atas, tetapi alasan-alasannyalah yang dipandangnya kurang memuaskan, termasuk pula contoh beberapa kasusnya. Menurut H.S. Muchlis, bahwa judi tidak ada unsur ’’berhadap-hadapan’’ para pelakunya, sebab misalnya jackpot (mesin judi) tak pernah (akan) berhadapan dengan pemiliknya (Bandar) yang sebenarnya. Tetapi tidak ada orang sehat pikirannya yang menyangkal, bahwa jackpot itu judi.
Menurut H.S. Muchlis, ada dua unsur yang merupakan syarat formal untuk dinamakan judi, ialah :
1. Harus ada dua pihak yang masing-masing terdiri dari satu orang atau lebih yang bertaruh : yang menang penebak nomor yang cocok/tepat dibayar oleh yang kalah menurut perjanjian dan rumusan tertentu.
2. Menang atau kalah dikaitkan dengan kesudahan sesuatu peristiwa yang berada di luar kekuasaan, dan di luar pengetahuan terlebih dahulu dari para petaruh.
Dari uraian yang dikemukakan oleh H.S. Muchlis dapat disimpulkan bahwa ia dapat menyetujui undian berhadiah dipergunakan untuk mengumpulkan dana guna membantu lembaga-lembaga sosial dan agama Islam, bahkan bisa juga untuk kepentingan Negara misalnya penarikan pajak berhadiah, dengan syarat clean and open management (bersih dan terbuka pengelolaannya).
Abdurrahman Isa menjelaskan, bahwa Islam membolehkan bahkan memberikan rekomendasi terhadap usaha menghimpun dana guna membantu lembaga sosial keagamaan dengan memakai sistem undian berhadiah, agar masyarakat tertarik untuk membantu usaha sosial itu. Misalnya, yang dilakukan di Mesir mengatur penyelenggaraan undian berhadiah untuk amal, antara lain ditentukan (secara yuridis) bahwa :
1. Uang masuk benar-benar untuk kepentingan sosial keagamaan dan sebagainya.
2. Penarikan nomor undian harus disaksikan oleh petugas dari Departemen Dalam Negeri dan Departemen Sosial.
3. Dana yang masuk dibagi 60% untuk dana sosial keagamaan, dan 40% untuk hadiah-hadiah dan biaya administrasi.
Demikian pula jual beli surat-surat undian berhadiah untuk amal tidak dilarang oleh agama, sebab usaha menghimpun dana dengan cara undian berhadiah sama dengan usaha mengumpulkan dana yang dilakukan oleh seseorang dari suatu perkumpulan/jama’ah untuk suatu proyek yang telah disepakati, tetapi sebagian dana yang terkumpul dari mereka itu diberikan sebagai hadiah untuk mereka dengan undian, untuk menarik mereka.
Masjfuk Zuhdi cenderung kepada keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo tahun 1969 dan pendapat para ulama pada umumnya yang mengharamkan segala macam bentuk perjudian, termasuk SSB dan Porkas, karena akibat-akibat negatifnya (madaratnya) jauh lebih besar daripada positifnya (maslahah). Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam
درأ المفاسد مقدم على جلب المصالح
Artinya : menghindari kerusakan-kerusakan harus didahulukan daripada menarik kebaikan-kebaikan.
Adapun yang dimaksud dengan perlombaan berhadiah adalah perlombaan yang bersifat adu kekuatan seperti bergulat, lomba lari, sepak bola, atau main catur. Pada prinsipnya lomba semacam tersebut diatas diperbolehkan oleh agama, asal tidak membahayakan keselamatan badan dan jiwa. Dan mengenai uang yang diperoleh dari lomba tersebut diperbolehkan oleh agama, jika dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
1. Jika uang/hadiah lomba itu disediakan oleh pemerintah atau sponsor nonpemerintah untuk para pemenang.
2. Jika uang/hadiah lomba itu merupakan janji salah satu dua orang yang berlomba kepada lawannya, jika ia dapat dikalahkan oleh lawannya itu.
3. Jika uang/hadiah lomba itu disediakan oleh para pelaku lomba dan mereka disertai muhallil, yaitu orang berfungsi menghalalkan perjanjian lomba dengan uang sebagai pihak ketiga yang mengambil uang hadiah itu jika jagonya menang, tetapi ia tidak harus membayar, jika jagonya kalah.
Abdurrahman Isa juga menegaskan, bahwa menyelenggarakan undian berhadiah yang dikaitkan dengan balapan kuda dan sebagainya itu dilarang oleh agama, meskipun itu dilakukan oleh lembaga sosial untuk menghimpun dana guna membantu proyek-proyek sosial keagamaan dan kesejahteraan sosial, karena taruhan balapan kuda itu haram, maka undian berhadiah yang dikaitkan dengan yang haram itu ikut menjadi haram.
Dari uraian yang dikemukakan oleh Abdurrahman Isa tersebut dapat pula disimpulkan, bahwa menurut Abdurrahman Isa, jual beli porkas itu juga haram/dilarang oleh agama, karena mengandung taruhan yang dikaitkan dengan hasil pertandingan antara dua kesebelasan yang bertanding baik bertanding secara riil maupun secara fiktif, sebagaimana pelaksanaan Porkas sekarang.
Menurut Ayatullah al-Uzhma Imam Ali Khamenei menjual kupon pengumpulan dana sumbangan untuk aktivitas-aktivitas sosial dan masyarakat umum, dengan ketentuan akan dilakukan pengundian, kemudian memberikan sebagian dana yang terkumpul kepada para pemenang undian, sedangkan sisanya digunakan untuk kepentingan umum itulah tidak tepat. Namun, diperbolehkan membagikan kupon berisi permohonan sumbangan untuk urusan-urusan sosial dan menjanjikan hadiah bagi penyumbang yang memenangkan undian dengan tujuan memotivasi dan memacu semangat para penyumbang. Dengan syarat niat para penyumbang adalah dalam rangka ikut serta dalam melakukan kebaikan.. Dengan demikian ia hanyalah sarana untuk berjudi, bahkan itulah judi sebenarnya. Karenanya, tidak diperbolehkan menjual dan membelinya, dan hadiah yang dimenangkan oleh pemilik kupon bukanlah sesuatu yang halal.
2. Hukum Melokalisasi Prostitusi
Menurut KH Sahal ada dua cara terbaik menanggulangi prostitusi. Pertama, sentralisasi lokasi pelacuran. Artinya lokalisasi perlu di lokalisir dalam satu tempat yang cukup jauh dari kontak penduduk lokal. Cara ini merupakan “jalan tengah” (upaya kompromistik) dari dua arus, yakni kelompok yang menghendaki pelacuran tetap seperti “apa adanya” dan kelompok yang bersikeras membumihanguskan lokalisasi. Pola pikir dari kedua kubu itu menurut beliau sama-sama menimbulkan mudharat. Pola pikir pertama, yakni membiarkan pelacuran karena bagaimanapun ada nilai positifnya, dinilai negatif sebab pola itu berarti sama dengan “merestui” lembaga kemaksiatan dan promiskuitas. Padahal dalam ushul fiqh ada kaidah, ar ridla bi-al syai’ ridlan bima yatawalladu minhu (rela terhadap sesuatu berarti rela terhadap sesuatu yang dilahirkannya). Ini artinya, berdiam diri terhadap pelacuran (tanpa upaya pencegahan), berarti orang tersebut rela terhadap berbagai ekses negatif yang ditimbulkan dari pelacuran.
Sementara pola kelompok kedua, yakni menghapuskan seluruh lembaga pelacuran, dinilai KH Sahal tidak menyelesaikan masalah. Justru sebaliknya, eksesnya jauh lebih besar dari yang pertama. Sebab dengan ditutupnya “saluran-saluran seks resmi”, para pelacur akan melampiaskan aktifitasnya di tempat-tempat bebas sehingga muncullah istilah “seks liar”. Disamping itu, cara ini berarti sama dengan mengingkari sunnatullah dan realitas sejarah atas adanya kemungkaran. Sebab yang namanya kemungkaran (munkar) dan kebaikan (ma’ruf) merupakan dua hal yang tidak dapat dinafikan. Dan, itu selalu ada sejak Nabi Adam dihadirkan di dunia. Karena memang keduanya menjadi bagian integral dari dinamika kehidupan.
Solusi yang diberikan KH Sahal sentralisasi lokasi pelacuran adalah dalam rangka meminimalisir dari madharat pelacuran. Karena, bagaimana pelacuran tersebut tidak dapat dihapuskan, yang dapat dilakukan adalah meminimalisir.
Pendapat KH Sahal itu didasarkan pada kaidah akhafud al-dlararain, yaitu mengambil sikap resikonya paling kecil dari dua macam bahaya (mudlarat). Kedua, melalui pendekatan kausatif atau sosiologis. Metode ini dalam rangka mengetahui sebab-sebab dan latar belakang dari para pelaku pelacuran. KH Sahal menyebut cara ini sebagai “kunci utama” mengatasi prostitusi. Konsekuensinya, jika pelacuran disebabkan kemiskinan, maka perlu diupayakan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi yang “tepat guna” dan “tepat sasaran”. Jika persoalannya karena minimnya pengetahuan agama, maka diperlukan upaya penanaman etika dan moralitas yang dilandasi semangat keagamaan. Prinsip KH Sahal ini mengacu pada kaidah ushul, sad al-dzari’ah, yaitu menutup jalan yang menuju perbutan terlarang.
Apabila pelacuran dipandang sebagai sebuah dosa, maka perluasan industri seks baik melalui turisme seks atau lainnya harus dipandang sebagai refleksi kegagalan untuk mempertahankan tindakan moral yang ideal. Sebab, apalah artinya “membenci dosa”, tetapi mencintai “pelaku dosa”. Dengan kata lain, apalah artinya melarang pelacuran jika merehabilitasi pelacuran. Dengan demikian, penanganan industri seks harus dilihat dari pelbagai aspek dan perlu banyak pihak. Hal ini dikarenakan yang turut menyelesaikan pelacuran tidaklah semata-mata kaum perempuan sebagaimana dipersoalkan selama ini tetapi juga kaum laki-laki, masyarakat, penguasa dan bahkan ulama.
Menurut keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke- XXXI di Boyolali Solo Jawa Tengah 29 Nopember-01Nopember 2004 memutuskan melegalkan lokalisasi prostitusi bukan taghyir munkarat, bahkan membenarkan, menolong, dan melestarikan kemaksiatan itu dan hukumnya adalah haram. Upaya taghyir munkarat justru dengan penutupan tempat-tempat maksiat dan memberikan hukuman kepada para pelakunya. Mereka mendasarkan pada dalil al-Qur;an surat Al-Isra’ 32, Surat al-Isra’ ayat 151, surat al-Maidah ayat 2.
Artinya : Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.
• •
Artinya : Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu Karena takut kemiskinan, kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar]". demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).
Artinya: dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.(QS: al-Maidah : 2)
Penerapan Eutanasia terhadap Penderita AIDS
Eutanasia
Pengertian qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia) ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit --karena kasih sayang-- yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat).
Hal ini berbeda dengan eutanasia negatif (taisir al- maut al-munfa'il) Pada eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya.
Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) seperti pada contoh nomor satu tidak diperkenankan oleh syara'. Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis. Maka dalam hal ini, dokter telah melakukan pembunuhan, baik dengan cara seperti tersebut dalam contoh, dengan pemberian racun yang keras, dengan penyengatan listrik, ataupun dengan menggunakan senjata tajam. Semua itu termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan
Diantara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah).
Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah bersabar? Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang wanita yang ditimpa penyakit epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi saw. agar mendoakannya, lalu beliau menjawab:"'Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga; dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.' Wanita itu menjawab, aku akan bersabar. 'Sebenarnya saya tadi ingin dihilangkan penyakit saya. Oleh karena itu doakanlah kepada Allah agar saya tidak minta dihilangkan penyakit saya.' Lalu Nabi mendoakan orang itu agar tidak meminta dihilangkan penyakitnya."
Disamping itu, juga disebabkan banyak dari kalangan sahabat dan tabi'in yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan diantara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubai bin Ka'ab dan Abu Dzar radhiyallahu'anhuma. Namun demikian, tidak ada yang mengingkari mereka yang tidak mau berobat itu.
Dalam kaitan ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali telah menyusun satu bab tersendiri dalam "Kitab at-Tawakkul" dari Ihya' Ulumuddin, untuk menyanggah orang yang berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih utama dalam keadaan apa pun.
Demikian pendapat para fuqaha mengenai masalah berobat atau pengobatan bagi orang sakit. Sebagian besar diantara mereka berpendapat mubah, sebagian kecil menganggapnya mustahab (sunnah), dan sebagian kecil lagi --lebih sedikit dari golongan kedua-- berpendapat wajib.
Dalam hal ini saya sependapat dengan golongan yang mewajibkannya apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan sunnah Allah Ta'ala.
Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw. yang biasa berobat dan menyuruh sahabat-sahabatnya berobat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ibnul Qayyim di dalam kitabnya Zadul-Ma'ad.Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw. itu menunjukkan hukum sunnah atau mustahab.
Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya --yaitu para dokter-- maka tidak ada seorang pun yang mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib.
Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan --dengan cara meminum obat, suntikan, diberi makan glukose dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern-- dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin kebalikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau mustahab.
Maka memudahkan proses kematian (taisir al-maut) --kalau boleh diistilahkan demikian-- semacam ini tidak seyogyanya diembel-embeli dengan istilah qatl ar-rahmah (membunuh karena kasih sayang), karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter. Tetapi dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi.
Jika demikian, tindakan pasif ini adalah jaiz dan dibenarkan syara' --bila keluarga penderita mengizinkannya-- dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya, insya Allah.
Analisa dan Kesimpulan
Dari paparan diatas berkaitan dengan AIDS bisa kita simpulkan bahwa AIDS merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan menyebabkan penderitaan bagi penderita. Disamping itu bahwa AIDS adalah jenis penyakit menular yang membahayakan bagi orang lain.
Sedangkan Eutanasia ada dua macam, pertama Eutanasia positip yang hukumnya adalah haram dengan argumentasi dalil-dalil yang berkaitan dengan bunuh diri jika Eutanasia tersebut atas keinginan si penderita dan dalil-dalil yang berkaitan dengan pembunuhan jika Eutanasia dilakukan atas keinginan orang lain misal keluarga penderita. Adapaun Eutanasia negatif hukumnya diperbolehkan dengan alasan meninggalkan sesuatu yang tidak wajib.
Dari penjelasan diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa Eutanansia positip tidak boleh dilakukan terhadap penderita AIDS. Penderita AIDS dengan sendirinya akan mati meski tanpa metode Eutanasia negatif karena tidak ada obat yang dapat menyembuhkan seseorang dari penyakit AIDS. Lalu bagaimana pemecahannya padahal AIDS memiliki implikasi bahaya atau madharat yang besar dari berbagai aspek bagi penderita maupun orang lain.
Bagi penderita, pertama bahwa AIDS adalah penyakit berat yang tidak dapat disembuhkan, sehingga penderita AIDS hanya tinggal menunggu kematiannya. Kedua, AIDS sangat mengganggu eksisistensi kehidupan yang ada pada seseorang, sehingga kehidupan bagi penderita AIDS justru dianggap menyakitkan. Ketiga, secara sosiologis AIDS menyebabkan turunnya mentalitas penderita dalam pergaulan dengan masyarakat sekitar. Keempat, menurunnya keimanan karena penderitaan yang tidak akan berakhir.
Bagi orang lain. Pertama, merawat penderita AIDS menghabiskan materi, waktu dan energi. Kedua, sewaktu-waktu orang dapat tertular AIDS jika penderita nekat menularkan penyakitnya kepada orang lain misalnya melalui suntikan. Ketiga, masyarakat akan resah dan ketakutan dengan penderita AIDS yang tinggal diwilayahnya.
Jika kita melihat betapa besar bahaya dan madharat penyakit AIDS ini baik bagi penderita terlebih-lebih orang lain, maka perlu kita pikirkan lagi tentang keharaman Eutanasia positip terhadap penderita AIDS. Bukankah tujuan syariat salah satunya adalah mempertahankan eksistensi kehidupan, namun jika eksistensi tersebut sudah tidak bisa lagi dipertahankan bahwa membahayakan mengapa harus dipertahankan. Dalam kaidah fiqih dinyatakan bahwa setiap bahaya harus dihilangkan dan mencegah kerusakan lebih didahulukan dari pada mengambil kebaikan.Wallahu a’lam bil shawab.
HUKUM MENGGUNAKAN OBAT PENUNDA HAID
UNTUK MENYEMPURNAKAN PUASA RAMADHAN
A. Pendapat Para Ulama Tentang Hukum Meminum Obat Anti Haid
Ulama era klasik seperti Ibnu Qudâmah al-Hanbaliy, Al-Hathaab al-Mâlikiy, dan Al-Ramliy al-Syâfi'iy, tidak mempermasalahkan seorang wanita yang meminum obat-obatan penunda haid. Dengan kata lain, mereka menetapkan hukum tentang hal itu dengan mubah. Begitu juga dengan Ibnu Taymiyah, beliau juga memperbolehkan wanita menahan keluarnya haid agar dapat menyempurnakan puasa Ramadhan.
Sedikit berbeda, Al-Juwaini dalam Qurratu al-‘Ain merinci hukum menggunakan obat penunda haid ada dua macam. Yaitu makruh apabila bertujuan untuk mencegah datangnya darah haid atau menyedikitkan darah haid; serta haram apabila bertujuan untuk mencegah kelahiran. Dengan demikian, menunda haid untuk menyempurnakan puasa menurut perspektif al-Juwaini berarti makruh.
Sedangkan pada era modern saat ini, dalam konteks Indonesia, pendapat yang layak dikemukakan paling awal adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sidang Komisi Fatwa MUI tanggal 12 Januari 1979 memutuskan bahwa menggunakan obat penunda haid adalah mubah bagi wanita yang sukar meng-qadha puasa Ramadhan pada hari lain; serta makruh jika untuk menyempurnakan puasa Ramadhan, namun dapat meng-qadha pada hari lain tanpa kesulitan.
Selain fatwa MUI tersebut, pendapat dan fatwa dari ulama serta lembaga otoritatif lain di Indonesia seperti NU dan Muhammadiyah belum dapat ditelusuri. Meski demikian, karena masalah penggunaan obat penunda haid merupakan problema umum umat Islam, maka di tingkat lokal pun ternyata sebagian ulama telah merespon problematika tersebut. Hal itu dapat dilihat dari adanya forum Bahtsul Masil Diniyyah di Yayasan As-Salam, Bandung yang membahas persoalan tersebut. Forum itu merumuskan kesimpulan untuk membolehkan penggunaan obat atau pil pencegah haid agar dapat menjalankan ibadah puasa ramadhan dan ibadah lainnya selama tidak menimbulkan efek bagi kesehatan si pengguna. Meski pendapat tersebut bukan berasal dari ulama otoritatif, namun forum tersebut dapat memberikan gambaran mengenai cara pandang para ulama lokal terhadap persoalan fiqh kontemporer. KH. Tajuddin Subki, misalnya, dalam forum tersebut meng-qiyas-kan kebolehan menggunakan obat penunda haid dalam bulan Ramadhan sama dengan kebolehan menggunakannya untuk kepentingan ibadah haji (thawaf). Sedangkan KH. Habib Syarif Muhammad mengatakan, hukum awal pemakaian obat-obat penunda haid dalam Islam tidak diperbolehkan. Menurutnya pemakaian obat tersebut berarti ingin melawan ketentuan yang yang telah digariskan Allah. Namun hukum tersebut menjadi mubah karena adanya pertimbangan yang bersifat manusiawi.
Selain pendapat di atas, kesimpulan berbeda muncul dari DPP Hidayatullah. Ormas ini berpendapat bahwa menggunakan obat penunda haid adalah lebih utama bagi wanita, dengan catatan hal itu berlaku bagi wanita yang tidak mempunyai resiko dengan kesehatannya. Kesimpulan itu didasarkan pada hadis Nabi yaitu :
Pertama, pada dasarnya orang yang tidak berpuasa karena udzur adalah wanita yang sedang melakukan satu bentuk rukhshah (keringanan). Sedangkan Nabi bersabda: "Sesungguhnya Allah menyukai untuk dilakukan rukhshahnya sebagaimana ia menyukai untuk ditunaikan 'azimahnya (beban normal)"(HR. Thabrani dan al-Baihaqi. Al-Munawi berkata:"Perawinya perawi hadis shahih).
Kedua, Rasulullah juga bersabda:" Barang siapa yang berbuka pada suatu hari di bulan Ramadhan tanpa disebabkan adanya keringanan yang diberikan Allah, maka tidak akan dapat diganti dengan puasa sepanjang masa walaupun ia ia betul-betul melakukannya"(HR. Abu Dawud). Pengertian sebaliknya dari sabda Nabi ini berarti orang yang mengqadha' akibat buka puasa atas dasar udzur, maka qadha'nya sepadan dengan puasanya di bulan Ramadhan.
Ketiga, terdapat hadis yang pengertian zhahirnya mengindikasikan bahwa tidak sholatnya wanita akibat udzur dan tidak berpuasanya wanita --meski di-qadha-- adalah bagian dari kekurangan wanita dalam beragama. Kutipan hadis tersebut adalah:
أليس إذا حاضت لم تصلى ولم تصم؟ قلن: بلى, قال فذلك من نقصان دينها
“Bukankah jika sedang haid, dia tidak shalat dan tidak berpuasa?" Mereka menjawab:"Benar". Beliaupun bersabda:"Demikianlah bentuk kekurangan agamanya". (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan berlandas atas hadis tersebut, Hidayatullah menganggap bahwa menunda haid merupakan keutamaan yang dilakukan sebagai upaya menghindari sebagian dari potensi ‘kekurangan’ wanita dalam beragama. Dalam penjelasannya, Hidayatullah menandaskan, istilah ‘kekurangan agama’ dalam hadis tersebut bukan dipahami dalam arti kualitas --akibat udzur yang memang sudah menjadi taqdir penciptaannya—melainkan pada kuantitas pelaksanaan agama yang tidak berhubungan langsung dengan cacatnya kualitas agama wanita yang bersangkutan.
Sedangkan ulama Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan, penggunaan pil pencegah haid tersebut diperbolehkan, namun dengan dua syarat. Yaitu tidak membahayakan kesehatan dan harus seijin suaminya. Meski demikian, Utsaimin mengatakan bahwa haid bagi seorang wanita merupakan hal alamiah yang apabila dicegah akan memberikan efek negatif bagi tubuh wanita. Ibnu Utsaimin mengkhawatirkan penggunaan obat tersebut akan membuat wanita lupa terhadap masa haidnya, sehingga mereka bingung dan ragu dalam mengerjakan shalat dan berkumpul dengan suami. Ia menegaskan, bahwa dirinya tidak mengatakan penggunaan pil tersebut haram, tapi ia tidak senang kaum wanita menggunakannya karena khawatir terhadap kemungkinan madharat yang menimpanya.
Ibnu Utsaimin juga menyitir hadits Nabi, yang menyatakan ketika beliau menjumpai Aisyah menangis setelah berihram untuk umrah, maka beliau bertanya: “Ada apa denganmu, barangkali engkau sedang haid?”. Aisyah menjawab: “Ya”. Lalu beliau bersabda” Ini sesuatu yang telah ditulis oleh Allah untuk anak-anak perempuan Adam”. Dengan mengutip hadits tersebut, Ibnu Utsaimin menganjurkan wanita untuk bersabar jika tertimpa haid, sebab hal itu merupakan ketentuan Allah yang bersifat alamiah. Dengan kata lain, menurutnya penggunaan obat tersebut adalah makruh.
Syaikh Mutawaali al Sya’rawi mengatakan, bahwa wanita yang melakukan hal itu berarti telah menolak rukhshah (keringanan hukum) yang diberikan Allah kapadanya. Selain itu, meminum obat pencegah haid –menurutnya-- dapat merusak metabolisme tubuh manusia. Perbuatan itu harus dihindari oleh para wanita muslim, khususnya pada bulan Ramadhan. Sejatinya, biarkan haid datang secara normal, dan puasa Ramadhan yang telah terlewat diganti pada hari lain sebagaimana telah ditentukan Allah dalam nash yang jelas.
Sebagai ulama berpengaruh di Saudi, pendapat al-Sya’rawi dan –terutama-- Ibnu Utsaimin tersebut merupakan pendapat mayoritas ulama Saudi Arabia. Sehingga keputusan lembaga fatwa kerajaan Saudi Arabia pun senada, bahwa wanita boleh meninum obat-obatan untuk mencegah datangnya haid dengan syarat dilakukan berdasarkan rekomendasi dari pakar medis dan dokter bahwa hal itu tidak membahayakan kesehatan atau organ reproduksinya. Namun sebaiknya, hal itu dihindari karena Allah telah memberikan keringanan untuk tidak berpuasa kepada wanita yang sedang haid dan menggantinya pada hari-hari lain. Hal itu lebih sesuai dengan ajaran Islam dan tidak beresiko bagi kesehatan”.
B. Metode Ijtihad Para Ulama
Tujuan utama penetapan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini sejalan dengan misi Islam secara keseluruhan yang rahmatan lil’alamin. Bahkan asy-Syatibi dalam al- Muwafaqat menegaskan:
ومعلوم ان الشريعة انما وضعت لمصالح الخلق باطلاق
“Telah diketahui bahwa hukum Islam itu disyariatkan untuk mewujudkan kemaslahatan makhluk secara mutlak”.
Sedangkan Mahmud Syaltut mengungkapkan hal yang sama dalam tesis :
إذا وجدت المصلحة فثم شرع الله
“Jika terdapat maslahat, maka disanalah hukum Allah”
Dengan ungkapan yang hampir serupa, Yusuf al-Qardhawi pun menyatakan hal yang sama untuk menggambarkan bagaimana eratnya hubungan antara hukum Islam dengan kemaslahatan. Menurut al-Khawarizmi, maslahat merupakan pemeliharaan terhadap tujuan hukum Islam dengan menolak kerusakan atau hal-hal yang merugikan dari makhluk (manusia). Sementara menurut at-Tufi, maslahat secara urf merupakan sebab yang membawa kepada kemaslahatan (manfaat), sedangkan dalam hukum Islam, maslahat merupakan sebab yang membawa akibat bagi tercapainya tujuan Syari’, baik dalam bentuk ibadat maupun mu’amalat.
Dalam kajian fiqh, salah satu metode istimbat hukum Islam yang lebih banyak menekankan aspek maslahat dalam pengambilan keputusan hukumnya adalah maslahah mursalah. Menurut al-Ghazali, maslahah mursalah adalah:
ما لم يشهد له من الشرع بالبطلان ولابالاعتبارنص معين
“Maslahat yang tidak ditunjukkan oleh dalil tertentu dari syara’, yang membatalkan atau membenarkan”.
Salah satu persyaratan maslahah mursalah, yaitu tidak adanya dalil tertentu yang membatalkan atau membenarkannya. Sehingga, dalam masalah hukum menunda haid, dimana tidak terdapat nash yang mengaturnya, maka argumentasi para ulama dalam merumuskan hukum mengenai hal itu dibangun berdasarkan metode mashlahah mursalah.
Terhadap masalah tersebut berlaku kaidah :
الأصل فى الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
Maksudnya, hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh, kecuali yang ada dalil yang mengharamkannya. Berkaitan dengan kasus tersebut, jelas tidak ada dalil khusus yang mengharamkannya. Sehingga, dengan dasar ini hukum ke-mubah-an obat penunda haid dirumuskan.
Meskipun demikian, hal itu masih mungkin menjadi haram akibat faktor lain, misalnya karena membahayakan kesehatan membahayakan kesehatan. Sehingga, Ibnu Utsaimin, misalnya, dalam merumuskan fatwanya berpegang pada nash:
“...dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” (Al Baqarah:195)
•
”...dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (An Nisa’:29).
Dapat dikatakan, bahwa dalam hal ini Ibnu Utsaimin menggunakan metode sadd al-dzari’ah dalam merumuskan argumentasi hukumnya. Hal itulah yang mendasari ditetapkannya hukum menunda haid sebagai hal makruh. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh al-dhararu yuzal, serta dar’u al mafasid muqaddamun ’ala jalbi al mashalih.
Berbeda dengan Hidayatullah yang menghukumi menunda haid dengan obat sebagai hal yang diutamakan, terlihat disini bahwa Hidayatullah merumuskan hukum tersebut menggunakan metode ijtihad bayani, yaitu ijtihad yang berhubungan dengan aspek linguistik nash, seperti ‘aam dan khash, mutlaq dan muqayyad. Disana, Hidayatullah membandingkan aspek linguistik tiga hadits, kemudian mengambil kesimpulan dari penafsiran tersebut.
Demikianlah, dalam dalam fatwa para ulama mengenai hukum menunda haid untuk menyempurnakan puasa Ramadhan, terlihat jelas upaya mewujudkan kemaslahatan dalam perumusan hukum. Bahwa disana terdapat beberapa perbedaan pendapat, hal itu berkaitan erat dengan prinsip kemaslahatan itu sendiri yang bersifat dinamis dan fleksibel. Artinya, pertimbangan kemaslahatan akan berkembang seiring dengan perubahan zaman. Sehingga, sebagai konsekuensinya, bisa jadi yang dianggap mashlahah pada masa lalu belum tentu dianggap mashlahah pada masa sekarang.
Sifat fatwa yang kasuistik dan kondisional tersebut, sesuai dengan pendapat Ibnu Qayyim al-Jawziyah, bahwa yang mengalami perubahan hukum adalah fatwa; dan fatwa adalah termasuk wilayah ijtihad. Dalam bukunya, I’lamu al-Muwaqqi’in, Ibnu Qayyim merumuskan kaidah :
تغير الفتوى بحسب تغير الأزمنة والأمكنة والأحوال والنيات والعوائد
Perubahan fatwa terjadi karena perubahan zaman, tempat, keadaan, niat, dan kebiasaan.
HUKUM AKAD NIKAH
VIA TELEKONFERENCE
I. Latar Belakang
Perkembangan teknologi dari hari kehari semakin pesat dan memasyarakat. Selain penemuan-penemuan (Discovery) dibidang kedokteran, kimia dan fisika, telah banyak pula ditemukan teknologi-teknologi baru dibidang konstruksi, transportasi dan yang tak kalah penting penemuan dibidang komunikasi; sebagai contohnya adalah Internet, telepon, teleconference, handphone/hp, telegram, telegrap, Pager, HT (Handy Talky), Faximile dan lain sebagainya.
Wartel (warung telephone), warnet (warung internet) dan teleconference tumbuh berkembang bagaikan jamur dimusim semi. Sehingga tidak heran jika media komunikasi semacam ini kini mulai sangat akrab dan kental dengan aktivitas kehidupan masyarakat kita sehari-hari. Mulai dari aktivitas pergaulan (persahabatan), pemberitaan, jual beli, lelang, perjanjian, hiburan, dan bisnis. Bahkan ada sebagian masyarakat yang menggunakan untuk melakukan akad pernikahan jarak jauh.
Dilihat dari sisi kepraktisan, pernikahan via media komunikasi memang dipandang lebih efektif dan efisien bagi calon pengantin yang berjauhan. Selain dapat menghemat waktu, karena salah satu calon mempelai berada di luar negeri, tentunya juga dapat menghemat biaya transportasi.
Disela-sela perkembangan internet dan telepon, lahirlah penemuan baru yang menggabungan antara televisi dan telepon yang disebut Teleconference. Dengan media ini komunikan (orang yang berbicara) dapat menyampaikan pesannya kepada recipient (lawan bicara) tanpa hanya mendengarkan suara (audio) tapi juga bisa melihat fisiknya (visual). Dengan segala bentuk kecanggihan dan fasilitas dari teknologi ini, customer (konsumen) dapat berkomunikasi dengan model apapun yang diinginkan seperti berhadapan langsung, sekaligus menyimpan data-data yang dianggap penting.
Namun dalam sisi lain, internet dan telepon di Indonesia masih mengalami perdebatan terkait penggunaanya dalam penyelenggaraan transaski perjanjian, baik yang berupa perdagangan maupun proses pernikahan . Selain itu alat komunikasi seperti telepon dan lainnya masih belum cukup kuat untuk dijadikan sebagai alat bukti telah terjadi perbuatan hukum. Sedangkan dari segi hukum Islam juga terjadi perbedaan hukum tentang transaksi yang dilakukan melalui sepucuk surat tanpa kehadiran kedua belah pihak. Dalam madzhab Syafi'iyyah sendiri terjadi perbedaan antara Imam Syafi'i dan para pengikutnya. Menurut pendapat yang shahih transaksi melalui sepucuk surat tanpa kehadiran kedua belah pihak tidak sah, karena surat saja tidak cukup kuat sebagai alat bukti telah dilakukannya perbuatan hukum. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah mengatakan bahwa akad nikah itu sah dilakukan dengan surat karena surat adalah Khithab (al-khitab min al-ghaib bi manzilah al-khitab min al-hadhir) dengan syarat dihadiri dua orang saksi, dan pendapat ini juga didukung sebagaian ulama Syafi'iyyah. Sementara pendapat Jumhur Ulama’ bahwa nikah adalah sebuah mitsaq ghalizh (tali perjanjian yang kukuh dan kuat) bertujuan menciptakan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah. Oleh karena itu pernikahan harus dihadiri secara langsung oleh kedua belah pihak mempelai, wali nikah dan dua orang saksi, sehingga tidak dikhawatirkan kedua mempelai akan mengingkari pelaksanaan pernikahan tersebut.
II. Rukun dan Syarat Pernikahan
Membahas tentang hukum pernikahan via telekomference tidak bisa lepas dari pembahasan rukun dan syarat pernikahan. Meskipun para ulama terjadi perbedaan pendapat tentang rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan, namun pada dasarnya mereka sepakat bahwa shighat ijab qabul adalah salah satu dari rukun yang harus dilaksanakan. Selain itu, Hanafiyyah, Syafi'iyyah, dan Hanabillah sepakat bahwa pernikahan harus dihadiri oleh dua orang saksi, kecuali Malikiyyah yang tidak mensyaratkan adanya saksi dalam akad perkawinan. Namun sebaliknya, beliau mensyaratkan adanya i'lan (pemberitahuan) pernikahan kepada halayak umum.
Meskipun selain ijab qabul dan saksi masih ada rukun-rukun pernikahan yang lain, namun dua rukun tersebut sangat perlu adanya pembahasan secara mendetail dan mendasar untuk dapat menjawab dan menghukumi pernikahan via telekomference. Sebab pernikahan via telekomference erat sekali hubungannya dengan masalah shighat dan saksi.
A. Syarat-syarat Shighat (Ijab Qabul)
Dalam pembahasan masalah ijab qabul, para ulama mensyaratkan terhadap ijab qabul dengan beberapa syarat, yaitu;
1. Diucapkan dengan kata-kata tazwij dan inkah, kecuali dari kecuali dari Malikiyyah yang memperbolehkan ijab qabul dengan memakai kata-kata hibbah (pemberian).
2. Ijab Qabul harus dilaksanakan dalam satu majlis (satu tempat)
Pengertian satu majlis oleh jumhur ulama (mayoritas) difahamkan dengan kehadiran mereka dalam satu tempat secara fisik. Pendapat ini dikeluarkan oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, dan mereka juga pendapat bahwa surat adalah kinayah. Hal ini beda dengan Hanafiyyah, beliau memahami satu majlis bukan dari segi fisik para pihak, namun hanya ijab dan qabul para pihak harus dikatakan di satu tempat dan secara berkontiu. Dari pendapat ini, Hanafiyyah memperbolehkan akad nikah melalui surat, asalkan surat tersebut dibacakan didepan saksi dan pernyataan dalam surat segera dijawab oleh pihak-pihak. Menurut Hanafi, surat yang dibacakan di depan saksi dapat dikatakan sebagai ijab dan atau qabul dan harus segera dijawab. Dari pendapat Hanafiyyah tersebut, menurut KH. Sahal Mahfudz dapat dianalogkan bahwa pernikahan dianggap sah hukumnya dilakukan lewat media komunikasi seperti internet, teleconference dan faximile.
Sedangkan menurut pendapat yang shahih (ada yang mengatakan al-Madzhab) dari Ulama syafi'iyyah, ijab qabul tidak boleh dilakukan melalui surat-menyurat. Baik ijab kabul dalam transaksi muammalat lebih-lebih dalam pernikahan. Mereka beralasan bahwa ijab kabul adalah suatu sarana untuk menjukkan kedua belah pihak saling ridla akan adanya transaksi, dan ridla tidak bisa diyakinkan hanya melalui sepucuk surat. Selain itu, surat tidak cukup kuat dijadikan alat bukti oleh saksi apa bila telah terjadi persengketaan tentang akad tersebut.
Solusi yang ditawaran oleh Syafi'iyyah adalah dengan mewakilkan akad pernikahan kepada seseorang, kemudian wakil tersebut hadir dalam majlis akad pernikahan. Jika demikian (mewakilkan akad), maka para ulama sepakat bahwa transaksi yang diwakilkan hukumnya sah. Rasulullah SAW sendiri pernah mewakilkan pernikahannya kepada Amr bin Umiyyah dan Abu Rafi'.
B. Syarat-syarat Saksi Pernikahan
Seperti yang telah kami sampaikan di atas, bahwa Jumhur Ulama sepakat pernikahan tidak sah kecuali dengan hadirnya saksi-saksi. Kecuali ulama Malikiyyah, mereka tidak mensyaratkan adanya saksi, namun pernikahan wajib diumumkan kepada halayak umum. Bagi ulama yang mewajibkan adanya saksi mensyaratkan sebagai berikut;
1. Aqil Baligh
2. Merdeka
3. Islam
4. Dapat mendengar dan melihat
Dari empat syarat daripada saksi di atas, hanya satu yang akan kita bahas bersama yaitu syarat mendengar dan melihat. Mendengar dan melihat adalah dua komponen yang harus bersama-sama. Tidak cukup hanya mendengar suara pihak-pihak tanpa adanya wujud secara fisik, begitu juga hanya melihat wujud fisik para pihak, na,un tidka mendengar suara ijab qabulnya.
Dari syarat tersebut, Syafi'iyyah sepakat menolak bahwa akad nikah yang dilakukan melalui pesawat telepon tidak sah, karena para saksi tidak melihat fisik para pihak. Hal ini karena tujuan saksi adalah mengantisipasi terjadinya persengketaan akad, dan mereka (saksi) tidak dapat diterima jika hanya mendengar suara tanpa rupa. Pendapat ini juga ditegaskan oleh Muhammad Abu Bakar Syatha, bahwa saksi harus melihat dan mendengar ijab qabul secara langsung keluar dari mulut para pihak. Alasan dari pendapat ini adalah, bahwa seorang saksi harus dapat meyakini hal yang disaksikan dan tidak boleh hanya prasangka, sebab mendengar suara tanpa melihat rupa tidak dapat menimbulkan suatu keyakinan dalam hati saksi.
Namun ada yang menarik dari pendapat Ibnu Hajar Al-Astqolani, jika saksi meyakini bahwa yang ia dengar adalah betul suara para pihak dengan adanya indikasi-indikasi, maka hukumnya diperbolehkan. Indikasi tersebut seperti contoh, ia meyakini bahwa di dalam kamar hanya ada satu orang bernama Zaed dikarenakan ia sendiri telah memeriksa ke dalam kamar. Kemudian ia mendengar suara dari dalam kamar tersebut dan meyakini suara itu adalah suara Zaed. Jika demikian maka kesaksian saksi dengan hanya mendengar suara di dalam kamar diperbolehkan, sebab dalam benaknya ada keyakinan.
Dari pendapat Ibnu Hajar tersebut dapat kita tarik benang merah bahwa, jika yang hadir dalam majlis tersebut (termasuk saksi) meyakini karena adanya indikasi-indikasi kuat bahwa yang sedang berbicara atau yang sedang dilihat dalam telekomference memang pihak yang bersangkutan, maka akad pernikahan hukumnya diperbolehkan dan sah.
III. Kesimpulan
Dari paparan beberapa pendapat ulama di atas dapat kita fahami bahwa akad dalam pernikahan adalah suatu hal yang sangat sakral dan merupakan peristiwa penting yang harus diabadikan. Sehingga Jumhur Ulama berpendapat pelaksanaan akad nikah terutama yang berhubungan dengan ijab qabul harus dilakukan dalam satu tempat (satu majlis). Pengertian satu majlis terjadi perbedaan pendapat;
a. Menurut Jumhur Ulama satu majlis difahamkan dengan berkumpulnya para pihak dalam satu tempat secara fisik.
b. Menurut Hanafiyyah dan sebagian kecil Syafi'iyyah memahamkan satu majlis adalah ijab qabulnya secara kontekstual bukan fisik nyata para pihak. Selian itu antara ijab qabul harus konytiyu dan tidak ada penghalang. Hal ini tanpa memandang secara fisik para pihak hadir dalam majlis atau tidak, sebab menurut pendapat ini akad nikah (ijab atau qabul) melalui surat diperbolehkan.
Selain ijab qabul, kesaksian dari dua orang saksi juga merupakan syarat dari pernikahan, kecuali pendapat Imam Malik. Adanya saksi harus benar-benar melihat dan mendengar langsung para pihak melakukan ijab kabul. Pernikahan tidak sah apa bila saksi hanya mendengar suara tanpa rupa dari para pihak, sebab kesaksian saksi yang demikian tidak dapat menimbulkan keyakinan dalam dirinya. Namun menurut Hanafiyyah dan Ibnu Hajar dari Ulama Syafi'iyyah berpendapat, jika para saksi meyakini bahwa suara (audio) atau gambar (visual) yang ia dengar dan lihat memang benar-benar dari para pihak, maka kesaksiannya dapat dibenarkan dan pernikahannya sah.
Kemudain apa bila ditarik kepada pokok masalah hukum melakukan pernikahan via telekomference, maka kami dapat menyimpulkan sebagai berikut;
a. Pernikahan melalui telekomference dalam kontek negara Indonesia tidak sah karena merujuk beberapa alasan;
1. Para pihak tidak hadir secara fisik dalam satu majlis sebagaimana yang dipendapatkan oleh Jumhur Ulama.
2. Alat komunikasi seperti Telepon, HP, Email, dan Telekonference belum dapat dinyatakan sebagai alat bukti yang sah menurut Undang-undang di Indonesia untuk memutuskan persengketaan hukum. Sebab keberadaan saksi mengandung hikmah tasyrik yaitu menguatkan dan menetapkan suatu peristiwa yang terjadi apa bila nantinya terjadi persengketaan. Alat elektronik dalam kontek hukum di Indonesia belum bisa dijadikan sebagai alat bukti yang sah dan autentik. Sedangkan apa bila merujuk pada pendapat Malikiyyah yang tidak mensyaratkan adanya saksi, juga tidak dapat ditarik kesimpulan akad melalui media elektronik dapat dibenarkan, sebab Malikiyyah meskipun tidak mensyaratkan adanya saksi, mereka mensyaratkan adanya akad pernikahan dilakukan dalam satu majlis secara fisik.
b. Jika salah satu calon mempelai berjauhan dan sulit untuk hadir, maka ada dua alternatif;
1. Membuat Surat. Ijab atau Qabul dapat dilakukan melalui sepucuk surat bermaterai dan membacanya di depan para saksi. Hal ini berpedoman kepada dua dasar; pertama, pendapat ulama Hanafiyyah dan sebagian ulama Syafi'iyyah yang memperbolehkan ijab atau qabul memamakai surat. Kedua, dalam kontek hukum negara Indonesia, surat yang bermaterai dapat dijadikan alat bukti yang autentik.
2. Mengangkat Wakil. Calon mempelai yang ada di kajauhan dapat mengangkat seorang wakil untuk melangsungkan ijab atau qabul, tentunya perwakilan tersebut harus disertai surat mandat bermaterai. Hal ini berdasarkan dua alasan; pertama, para ulama sepakat bahwa akad pernikahan (ijab qabul) dapat diwakilkan kepada orang lain, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Kedua, menurut Undang-undang Indonesia, perwakilan dengan disertai surat mandat resmi (bermaterai) dapat dibenarkan dan mempunyai kekuatan hukum.
A. Hukum Transplantasi.
Dalam prinsip syariah secara global, mengingat transplantasi organ merupakan suatu tuntutan, kebutuhan dan alternatif medis modern tidak ada perselisihan dalam hal bolehnya transplantasi organ ataupun jaringan. Dalam simposium Nasional II mengenai masalah “Transplantasi Organ” yang telah diselenggarakan oleh Yayasan Ginjal Nasional pada tangal 8 September 1995 di arena PRJ Kemayoran, telah ditandatangani sebuah persetujuan antara lain wakil dari PB NU, PP Muhammadiyah, MUI disetujui pula oleh wakil-wakil lain dari berbagai kelompok agama di Indonesia. Bolehnya transplantasi organ tersebut juga ditegaskan oleh DR. Quraisy Syihab bahwa; “Prinsipnya, maslahat orang yang hidup lebih didahulukan.” selain itu KH. Ali Yafie juga menguatkan bahwa ada kaedah ushul fiqh yang dapat dijadikan penguat pembolehan transplantasi yaitu “hurmatul hayyi a’dhamu min hurmatil mayyiti” (kehormatan orang hidup lebih besar keharusan pemeliharaannya daripada yang mati.)
Adapun dalil syar’i yang dapat dijadikan dasar untuk membolehkan pencangkokan mata, ginjal atau jantung, antara lain sebagai berikut:
1. Al Qur’an surat al-Baqarah ayat 195, yang menurut sebab turunya ayat adalah para sahabat Nabi mulai merasa Islam dan umat Islam telah menang dan kuat. Karena itu, mereka ingin melakukan bisnis perdagangan dan sebagainya dengan sepenuh tenaga guna memperoleh kembali harta benda yang lenyap selama itu akibat perjuangan agama. Maka ayat ini memperingatkan kepada para sahabat agar tidak tergoda oleh harta sampai lengah dan lupa perjuangan yang mulia, sebab musuh-musuh Islam masih tetap mencari dan menunggu kelengahan umat Islam agar dengan mudah Islam dapat dihancurkan.
Ayat tersebut secara analogis dapat dipahami bahwa Islam tidak membenarkan pula orang yang membiarkan dirinya dalam keadaan bahaya maut atau tidak berfungsinya organ tubuhnya yang sangat vital baginya, tanpa usaha-usaha penyembuhanya secara medis dan non medis, termasuk pencangkokan tubuh, yang secara medis memberikan harapan kepada yang bersangkutan untuk bisa bertahan hidup dengan baik.
2. Al Qur’an Surat al-Maidah ayat 32
ومن احياها فكانما احيا الناس جميعا
“ Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya”
Ayat ini menunjukan bahwa Islam sangat menghargai tindakan kemanusiaan yang dapat menyelamatkan jiwa manusia, demikian pula seorang yang ikhlas hati mau menyumbangkan organ tubuhnya setelah ia meninggal, maka Islam membolehkan, bahkan memandangnya sebagai amal perbuatan kemanusiaan yang tinggi nilainya, karena menolong jiwa manusia sesama atau membantu berfungsinya kembali organ tubuh sesamanya yang tidak berfungsi.
3. Hadits Nabi.
تداووا عبادالله فان الله لم يضع داء الا وضع له دواء غير داء واحد الهرم
Berobatlah kamu hai hambah-hambah Allah, karena sesunggahnya Allah tidak meletakan suatu penyakit, kecuali Dia juga meletakan obat penyembuhnya, selain satu penyakit yaitu penyakit tua.
Hadits ini menunjukan bahwa umat Islam wajib berobat jika menderita sakit, apapun macam penyakitnya, sebab tiap penyakit berkat kasih sayang Allah, pasti ada obet penyembuhnya, kecuali sakit tua.
4. Kaidah Islam.
الضرر يزال
Bahaya itu dilenyapkan.
Seorang yang menderita sakit jantung atau ginjal yang telah mencapai stadium yang gawat, maka ia menghadapi bahaya maut sewaktu-waktu. Maka menurut kaidah di atas, bahaya tersebut harus ditanggulangi dengan usaha pengobatan. Dan bila usaha pengobatan medis biasa tidak bisa menolong, maka demi menyelamatkan jiwanya, pencangkokan jantung atau ginjal diperbolehkan karena dalam keadaan darurat. Dan hal ini berarti, kalau penyembuhan penyakitnya bisa dilakukan tanpa pencangkokan, maka pencangkokan tersebut tidak dapat diperbolehkan.
Dilihat dari hubungan genetik antara donor dan resipien, ada tiga macam pencangkokan, yaitu:
1. Auto transplantasi, yaitu transplantasi dimana donor resipienya satu individu. Seperti seorang yang pipinya dioperasi, untuk memulihkan bentuk, diambilkan daging dari bagian badanya yang lain dalam badanya sendiri.
2. Homo transplantasi, yakni dimana transplantasi itu donor dan resipienya individu yang sama jenisya, (jenis di sini buan jesnis kelamin, tapi jenis manusia dengan manusia).
3. Hetero transplantasi, ialah yang donor dan resipienya dua individu yang berlainan jenisnya, seperti transplantasi yang donornya adalah hewan sedangkan resipienya manusia.
Dalam hal ini penulis hanya akan mebatasi pembahasan pada hetero transplantasi yakni transplantasi dengan menggunakan organ binatang haram. Tidak menjadi persoalan yang irasional jika pada perkembangan dunia kedokteran sebagaimana saat ini tidak menutup kemungkinan itu terjadi, bahkan sebagaimana yang dikatakan Dr. Tarmizi yang menyoroti fenomena bahwa saat ini yang paling sesuai untuk transplantasi organ jantung manusia adalah babi (Media Dakwah, No.265 Rab. Awal 1417 H/Agustus 1996). Karena masalah ini menyangkut banyak dimensi hukum, moral, etika kemanusiaan dan berbagai aspek kehidupan maka bermunculanlah kontroversi pendapat pro-kontra mengenai kasus ini. Pada hakekatnya, syari’ah Islam ketika berbicara tentang boleh dan tidaknya suatu masalah, tidak terpasung pada batas ‘hukum sekedar untuk hukum’. Lebih jauh dari itu, bahwa semua kaedah dan kebijakan hukum syariah Islam memiliki hikmah. Dimensi vertikalnya, sebagai media ujian iman yang menumbuhkan motivasi internal terlaksananya suatu etika dan peraturan hidup. Adapun dimensi horisontalnya adalah ia berdampak positif dan membawa kebaikan bagi kehidupan umat manusia secara universal.
B. Transplantasi dengan Organ Binatang Haram.
Adapun mengenai masalah pemanfaatan jaringan sel dan organ tubuh babi untuk tujuan medis diantara para ulama’ terdapat perbedaan pendapat. Kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa seseorang boleh menyambung tulangnya dengan benda najiz, jika memang tidak ada benda lain yang sama atau lebih efektif. Jadi, organ babi baru dibolehkan jika tidak ada organ lain yang menyamainya. Menurut kalangan Hanafiyah, berobat dengan barang haram tidak diperbolehkan. Dalam hal ini memang ada satu hadits yang menyatakan;
ان الله لم يجعل شفاء كم فيما حرم عليكم
“ Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagi kalian di dalam sesuatu yang haram”
Akan tetapi menurut mereka, jika diyakini di dalamnya mengandung obat dan tidak ada obat lain, maka hal itu tidak apa-apa.
Dari kedua pendapat di atas, transplantasi dengan menggunakan organ babi, boleh-boleh saja. Kebolehan ini bisa diberikan selama tidak ada benda lain yang sama atau lebih efektif. Akan tetapi Ibnu Hajar mensyaratkan resipienya harus orang maksum. Artinya dia harus orang muslim, bukan orang murtad atau orang kafir. Karena status mereka (murtad, kafir) disamakan dengan binatang. Sedangkan Imam Romli Asnawi dan al-Subki tidak mensyaratkan harus maksum, sebab mereka termasuk manusia yang dimuliakan.
Perbedaan yang serupa dengan di atas juga nampak pada pandangan ulama saat ini. Kalangan yang menganggap haram transplantasi dengan organ binatang haram berlandaskan bahwa beberapa di antara mereka menganggap obat-obatan tidak termasuk dalam kategori kebutuhan mendesak seperti halnya makanan. Untuk memperkuat pendapat ini, mereka mengutip hadits yang berbunyi:
ان الله لم يجعل شفاء كم فيما حرم عليكم
Sesungguhnya Allah tidak menyediakan obat bagi kamu dalam apa-apa yang Dia haramkan untukmu.
Diantara yang memegang pendapat tersebut adalah Majelis Ulama Port Elizabeth berpendapat bahwa karena babi berikut seluruh bagian tubuhnya dianggap najis berat (najasat al ghalizhah) oleh syari’at, maka haram pula mengambil manfaat apapun dari hewan ini sekalipun untuk tujuan medis.
Di pihak lain ada yang menyamakan keterdesakan medis dengan keterdesakan dalam hal makanan, karena keduanya sama-sama penting bagi kelangsungan hidup. Al Qur’an mengizinkan orang Islam yang terdesak oleh kelaparan untuk mengkonsumsi daging babi:
…Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, ,maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pemurah lagi Maha Penyayang (Q.S. Al baqarah:173)
Karena itu, pemanfaatan jaringan sel atau organ tubuh babi untuk menyelamatkan
nyawa manusia hukumnya adalah boleh. Tiga kutipan berikut ini adalah sebagian di antara pandangan-pandangan yang memperbolehkan transplantasi organ tubuh babi pada manusia:
a. Akademi Fikih Islam Liga Dunia Muslim, Mekah, Arab Saudi, berpendapat boleh mentransplantasi hewan yang dagingnya haram dimakan pada tubuh manusia atas dasar kebutuhan yang mendesak
b. Akademi Fikih Islam India juga membenarkan pengambilan organ hewan yang dagingnya haram dimakan atau organ hewan yang halal dimakan tapi tidak disembelih secara islami untuk ditransplantasikan pada tubuh manusia. Namun kebolehan ini dibatasi oleh dua syarat: pertama tidak ada lagi jalan keluar yang lain, kedua, nyawa si penerima organ dalam bahaya atau organ tubuhnya rusak dan tidak dapat di perbaiki lagi.
c. Dr.Fayshal Ibrahim Zhahir berpandangan bahwa boleh mentransplantasikan organ tersebut pada tubuh manusia berdasarkan prinsip fikih tentang keterdesakan yang membuat hal-hal terlarang menjadi boleh. Dengan demikian, kebolehan dalam kasus ini bersifat kondisional, yakni boleh dilakukan hanya apabila tidak ada organ tubuh hewan yang halal.
Tinjauan hukum fiqh tentang enzim meningitis
Pada dasarnya hukum dari segala sesuatu adalah boleh selama tidak ada dalil yang menjelaskan keharamannya. Ini adalah qoidah fiqih yang dipakai oleh para ulama’ khususnya yang bermadzhab Syafi’iyyah
الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل دليل على التحريم
Walaupun sebagian kalangan ulama’ yang bermadzhab Hanafiyyah menyatakan sebaliknya, yaitu:
الأصل في الأشياء التحريم حتى يدل دليل على الإباحة
Dalam masalah babi yang menjadi bahan pokok pembuatan enzim meningitis telah terdapat nash baik al-Qur’an maupun Hadist yang menyatakan keharamannya, yaitu:
•
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْمَيْتَةَ وَثَمَنَهَا وَحَرَّمَ الْخِنْزِيرَ وَثَمَنَهُ
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan khamr dan hasil penjualannya dan mengharamkan bangkai dan hasil penjualannya serta mengharamkan babi dan hasil penjualannya.” (HR. Abu Daud)
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ عَامَ الْفَتْحِ وَهُوَ بِمَكَّةَ إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالْأَصْنَامِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهَا يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ فَقَالَ لَا هُوَ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ
Dari Jabir bin Abdullah beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada tahun penaklukan Mekkah dan beliau waktu itu berada di Mekkah: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi dan patung-patung.” Lalu ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah Apakah boleh (menjual) lemak bangkai, karena ia dapat digunakan untuk mengecat perahu dan meminyaki kulit serta dipakai orang untuk bahan bakar lampu?” Maka beliau menjawab: “Tidak boleh, ia tetap haram.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lagi ketika itu: “Semoga Allah memusnahkan orang Yahudi, sungguh Allah telah mengharamkan lemaknya lalu mereka rubah bentuknya menjadi minyak kemudian menjualnya dan memakan hasil penjualannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pendapat ulama’ terhadap penggunaan enzim meningitis
Imam Syarof al-Din al-Nawawi dalam kitabnya menyatakan kebolehan berobat dengan bahan-bahan najis kecuali khamr, hal ini berlaku pada semua jenis najis (al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab IX, hlm. 50-51).
Adapun Hadist nabi yang menyatakan;
لم يجعل الله شفاء أمتي فيما حرم عليها
Menurut imam al-Nawawi yang dimaksudkan Hadist di atas adalah pengobatan dengan khamr saja. Adapun pengobatan dengan barang najis diperbolehkan ketika barang yang suci yang dapat menyamai fungsinya tidak ada lagi.
Menurut Ketua MUI, KH Ma'ruf Amin Majelis Ulama Indonesia (MUI), 1. Vaksin meningitis menjadi syarat wajib bagi jamaah haji Indonesia, 2. Vaksin yang digunakan mengandung enzim babi dan dunia medis belum menemukan vaksin yang serupa bebas dari enzim babi. Kemudian menurut MUI lagi Hanya menghalalkan penggunaan vaksin meningitis berenzim babi bagi jemaah haji Indonesia yang pertama kali naik haji. Hukum kedaruratan vaksin Meningitis, menurut MUI, selaras dengan hukum naik haji hanya wajib satu kali. Bagi jamaah haji yang kedua kali, tidak ada lagi kedaruratan karena tidak wajib. Karena itu, (mereka) kalau pakai vaksin ini, hukumnya haram dan berdosa, pada Republika, Ahad(2/5).
Sikap MUI yang mengharamkan vaksin Meningitis berlawanan dengan mufti arab saudi dan malaysia, alasan kedua pemerintah itu terletak pada hasil akhir vaksin. Bila hasil akhir vaksin tidak mengandung zat haram dan najis maka hukumnya halal, sedangkan MUI berpendapat kalau pada awalnya sudah bercampur haram dan najis meski pada akhirnya bersih maka hukumnya tetap haram.
Tinjauan Hukum Syar’i Terhadap Vaksin Menengitis Pada kenyataannya terkait dengan pembahasan tentang vaksinasi meningitis yang sekarang sedang terjadi, yang terkandung beberapa kondisi, yaitu:
1) Membuat sesuatu yang halal (vaksin meningitis) menggunakan alat (unsur) yang haram (enzim babi).
2) Alat itu tidak terbawa dengan kata lain telah dibersihkan dari vaksin meningitis.
3) Menjadikan vaksin meningitis sebagai komoditi (barang yang diperjual belikan).
4) Jamaah calon haji atau Umrah tidak akan dapat masuk ke Saudi Arabia jika tidak divaksinasi dengan vaksin meningitis yang ada sekarang.
5) Jamaah Haji yang tidak divaksinasi meningitis dapat tertular penyakit yang membahayakan dirinya bahkan sampai mengancam nyawanya.
Pengurus Pusat Muhammadiyah menyatakan hukum darurat yang memperbolehkan penggunaan vaksin meningitis berenzim babi tidak berlaku bagi calon jamaah haji berangkat untuk kedua kali karena kewajiban haji bagi Calhaj telah dilaksanakan saat menunaikan ibadah tersebut pertama kali. ‘’Untuk jamaah haji yang mengulang (kedua kali), hukumnya haram karena alasan daruratnya tidak terpenuhi,’’ kata Ketua PP Muhammadiyah, Yunahar Ilyas kepada Republika, Ahad, (2/5).
Menurut Yanuhar, penggunaan vaksin meningitis sebetulnya haram karena mengandung enzim babi. Namun, vaksin itu lalu diperbolehkan dengan alasan darurat karena belum ada pengembangan obat tanpa mengandung zat diharamkan. ‘’Jadi, sebelum ada (vaksin) meningitis yang bebas dari enzim babi, maka diperbolehkan untuk keperluan haji pertama,’’ katanya.
Meski demikian, Muhammadiyah saat ini masih menunggu dan ikut putusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait vaksin meningitis. Pasalnya, MUI memiliki prinsip serupa Ormas Islam itu dalam menghukum kehalalan dan keharaman suatu benda. Prinsip itu berbeda dari ulama Arab Saudi dan Malaysia (Republika online, Ahad 02/05/20010).
Lembaga Pengkajian Pangan dan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) kembali mendesak pemerintah segera mengganti vaksin Meningitis yang mengandung babi.
“Dari dulu vaksin haram terbuat dari babi sudah ada, termasuk juga cangkang kapsul,” ujar Dr. Muhammad Nadratuzzaman Hosen, Direktur LPPOM MUI, kepada www.hidayatullah.com.
Ribut masalah vaksin asal babi ini kemarin telah disampaikan Menteri Agama (Menag) Muhammad Maftuh Basyuni yang mendesak Menteri Kesehatan Siti Fadilllah Supari mengambil langkah-langkah. Pernyataan Menag ini disampaikan di berbagai media massa, sehubungan dengan temuan LPPOM-MUI Sumatera Selatan (Sumsel) bahwa ada vaksin Meningitis mengandung babi.
“Namun yang menjadi masalah adalah hukum vaksin menggunakan enzim babi masih kontroversi di kalangan para ulama, terutama di Arab Saudi dan ulama yang tergabung dalam badan kesehatan WHO,” imbuhnya. Mayoritas ulama tersebut beranggapan bahwa penggunaan vaksin berenzim babi masih dalam kategori mudharot (boleh) sebab belum ada alternatif lainnya.
Menurut Nadratuzzaman, pemakaian vaksin Meningitis sebenarnya peraturan dari Arab Saudi bagi jamaah yang hendak berhaji agar tidak terkena penyakit. Tidak hanya itu, pihak Arab Saudi juga mewajibkan jamaah haji membawa bukti bahwa telah melakukan vaksin Meningitis. Jika tidak, maka tidak diperbolehkan masuk.
Jadi, para calon haji Indonesia harus melakukan vaksinasi Menginitis. Padahal, menurut Nadratuzzaman, sebenarnya vaksin tersebut lebih tepat jika diberlakukan untuk calhaj asal Afrika saja. Sebab, penyakit Meningitis otak lebih banyak menimpa calhaj asal Negara tersebut. Apalagi, efektifitas vaksin meningitis belum tentu sangat signifikan untuk imunitas otak. “Perlu diadakan riset untuk membuktikan hal itu,” katanya.
Malah, akibat vaksin Meningitis bisa menstimulasi datangnya penyakit baru karena kerja vaksin adalah memasukkan virus untuk melemahkan penyakit. Namun yang menjadi kendala umat Islam, terutama di negara-negara Islam di Asean, adalah tidak mau mencari vaksin alternatif yang halal.
Padahal, jika mau sapi pun bisa dijadikan vaksin. Namun karena umat Islam malas, maka vaksin buatan Amerika yang kecenderungannya pada yang haram kemudian digunakan.
“Vaksin itu kan buatan Amerika, dan Amerika lebih suka dengan yang haram seperti babi,” ungkapnya.
Oleh karena itu, pihak LPPOM MUI akan mengusulkan agar penggunaan vaksin babi diganti dengan sapi. Dan menurutnya, pihak MUI sendiri mengharamkan penggunaan vaksin dengan enzim babi, meski pendapat sebagian ulama di Timur Tengah ada yang membolehkannya.
Rencananya, LPPOM MUI akan mengadakan rapat membahas vaksin haram. Namun, ketika ditanya perihal kontrak MUI selama lima tahun terkait penggunaan vaksin babi kepada jamaah haji, Nadratuzzaman mengaku tidak tahu menahu.
“Saya tidak tahu menahu soal itu, saya hanya orang kecil di MUI,” tuturnya.
Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PB NU) mendesak pemerintah dan sejumlah lembaga terkait untuk menyatukan pendapat tentang status vaksin meningitis (radang selaput otak) yang hingga kini belum ada keputusannya.
"Masalah vaksin itu harus diperjelas. Apakah benar-benar haram atau tidak. Selama ini kan masih silang pendapat," jelas Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PB NU Cholil Nafis kepada Republika, Jumat (12/6).
Pada pemberitaan Republika sebelumnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan pihaknya sepakat memutuskan bahwa vaksin meningitis ini tidak halal.
"Tapi bagi saya dari informasi yang saya ketahui, vaksin ini tidak terkontaminasi enzim dari babi, karena babi hanya merupakan katalisator saja dan sudah dinetralisir. Jadi, tidak masalah. Untuk itu sangat dibutuhkan kesatuan pendapat mengenai vaksin ini." Selain itu, lanjut Cholil, juga diperlukan keterangan jelas dari pemerintah Arab Saudi mengenai sejauhmana bahaya penyakit radang selaput otak ini. Mengapa sampai mengharuskan jamaah haji menggunakan vaksin ini. "Harus ada kejelasan latar belakang vaksin meningitis. Dan harus ada bukti yang ilmiah berapa banyak orang yang kena dan apa dampaknya," tegasnya.
Selama ini, Cholil Nafis mengaku belum tahu pasti keterangan dari dokter maupun ahli mengenai vaksin ini. Seberapa jauh bahayanya. "Selama ini kan hanya tindakan preventif saja menggunakan vaksin ini," katanya.
Namun, kata Cholil, sebelum MUI menanyakan ke pemerintah Arab Saudi, selesaikan dulu masalah internal di negara Indonesia ini. Pihak pemerintah dan MUI harus menjelaskan apakah vaksin ini halal atau haram.
"Sah-sah saja bertanya ke Arab Saudi tapi harus jelas dulu status vaksin ini. Jika sudah bulat bahwa vaksin ini haram, fatwakan saja, kenapa tunggu pemerintah Arab Saudi. Jika sudah yakin tidak perlu tanya, namun fatwa tersebut harus bisa dipertanggung jawabkan," katanya.Supaya keluar dari perdebatan itu, Cholil Nafis memberikan solusi. Ia menyarankan agar pemerintah mencari vaksin lain yang katalisatornya bukan dari babi. "Supaya keluar dari perdebatan dianjurkan lebih baik cari vaksin yang katalisatornya bukan dari babi seperti vaksin yang katalisatornya sapi seperti yang digunakan di Malaysia," katanya. Lagi pula, kata Cholil, kalau memang sudah terkontaminasi babi, sudah pasti haram, dan tidak perlu difatwakan orang juga sudah mengetahuinya. "Kalau sudah kodli (pasti dalam Al-Quran), tidak perlu difatwakan. Babi itu sudah jelas haram," tegasnya.
Jika belum ada kejelasan tentang vaksin ini, Cholil menghimbau kepada masyarakat, agar menghindari hal yang meragukan seperti vaksin meningitis ini. "Hindari hal yang meragukan ke hal yang tidak meragukan," tandasnya
Hampir semua ulama’ yang memperbolehkan penggunaan barang najis dalam rangka pengobatan mendasarkannya denan alasan Dlorurot (darurat), begitu juga dalam penggunaan enzim meningitis, para ulama’ juga mendasarkan pendapatnya tersebut dengan alasan Dlorurot (darurat). menurut al-Ustadz Abd al-Aziz ‘Azm guru besar al-Azhar, darurat adalah:
الضرورات في اللغة مأخوذة من الإضرار , وهو الحاجة الشديدة
Qaedah fiqh menyatakan tentang darurat, yaitu:
الضَّرُورَةُ تُبِيحُ الْمَحْظُورَاتِ
Darurat itu membolehkan hal-hal terlarang.
مَا أُبِيحَ لِلضَّرُورَةِ تُقَدَّرُ بِقَدَرِ تَعَذًُّرِهَا
Apa yang dibolehkan untuk kemadaratan diukur dengan ukuran uzurnya
الضرر يزال
Darurat harus dihilangkan
Imam Suyuti memberikan batasan penggunaan yang pada awalnya dilarang dengan alasan darurat adalah apabila jika tidak menggunakan sesuatu yang dilarang tersebut akan menyebabkan kerusakan (mati).
Para ulama’ klasik memberikan pengertian tentang darurat yaitu ancaman gangguan kesehatan yang dapat membahayakan keselamatan jiwa atau lainnya sehingga dapat memperbolehkan bertayammum (mubih al-tayammum).
Kebolehan menggunakan sesuatu yang dilarang dengan alasan darurat, ulama’ juga memberikan batasan selama belum ada (ditemukan) penggantinya dari sesuatu yang halal, serta penggunaannya merupakan sebuah alternative terakhir.
Sedangkan masalah penggunaan enzim untuk jamaah haji, menurut berbagai sumber kurang memenuhi syarat apabila didasarkan dengan alasan darurat. Karena kabarnya enzim meningitis sudah bisa dibuat dengan bahan sapi, serta Malaysia menggunakan bahan alami sebagai ganti untuk enzim meningitis, yaitu:
Laksanakan hijamah/bekam 1bulan 1x (3 bulan berturut-turut sebelum naik haji)
Sangat perlu makan yang segar-segar
Pagi : Wortel 1 gelas, bayam ½ gelas
Siang : Wortel 1 gelas, bit 1/3 gelas, Timun 1/3 gelas
Sore : Wortel 1 gelas, seledri ½ gelas, Bayam 1/3 gelas
Malam : Wortel 1 gelas
Tambahan : Habatusauda, madu, sari kurma
Makanan minuman: Back to nature, tidak msg, vetsin, instan.
والله اعلم باالصواب
مع النجاح
Tidak ada komentar:
Posting Komentar