Pages

Minggu, 11 Desember 2011

Kaidah KE tiga


Kaidah KE tiga
وكل واو وياء متحركين يكون ما قبلهما حرفا صحيحا ساكنا نقلت حركتهما إلى الحرف الصحيح الساكن، نحو: يَصُوْنُ ويَبِيْعُ أصلهما يَصْوُنُ ويَبْيِعُ.
“Jika ada Wawu atau Ya’ hidup dan sebelumnya berupa huruf shohih yang mati, maka harokat Wawu atau Ya’ tersebut dipindah ke huruf Shohih yang mati tersebut”
Contoh I’lal:
يَصُوْنُ أصله يَصْوُنُ، على وزن يَفْعُلُ، نُقِلَتْ حركة الواو إلى ما قبلها لتحركها بعد حرف صحيح ساكن فصار يَصُوْنُ.
يَصُوْنُ asalanya يَصْوُنُ mengikuti wazan يَفْعُلُ , karena wawu hidup dan sebelumnya berupa huruf shohi mati, maka harokat wawu dipindah ke huruf shohih yang mati tersebut, maka menjadi يَصُوْنُ.
Soal :
1.   يقوم
2.   ينام
3.   يقول
4.   يصوم
5.   يميل

Kaidah Ke Dua


Ajwaf adalah jika ‘ain fi’ilnya berupa wawu yang disebut Ajwaf Wawi atau berupa ya’ yang disebut dengan Ajwaf Ya’i. Adapun Naqish adalah jika lam fi’ilnya berupa ya’ yang disebut dengan Naqish ya’i atau berupa wawu yang disebut dengan Naqish Wawi.
Kaidah Ke dua
"إن الواو والياء إذا تحركتا وانفتح ما قبلها تقلبان ألفا نحو : قَالَ وبَاعَ و غَزَا"
“Jika ada Wawu dan Ya’ hidup dan sebelumnya berupa harokat Fathah, maka diganti alif”
Contoh I’lal :
قَالَ أصله قَوَلَ، على وزن فَعَلَ، قلبت الواو ألفا،  لتحركها وانفتاح ما قبلها، فصار قَالَ.
قَالَ asalnya قَوَلَ , mengikuti wazan فَعَلَ , karena ada wawu hidup dan sebelumnya berupa harokat fathah, maka wawu diganti Alif, maka menjadi قَالَ .
Kaidah mempunyai tujuh syarat :
1.       Harokat Wawu dan Ya’ tersebut bukan harokat ‘Aridloh (tidak ashli), seperti : دَعَوُا القَوْمَ asalnya دَعَوْا القَوْمَ
2.       Jika keduanya bukan lam fi’il, maka sesudahnya harus berupa huruf hidup, seperti : طَوِيْلٌ
3.       Jika keduanya adalah lam fi’il, maka sesudahnya tidak boleh berupa alif atau ya’ tasydid, seperti : رَمَيَا , عَلَوِيٌّ
4.       Keduanya tidak mengikuti wazan فَعَلَ  dan فَعِلَ dan isim failnya mengikuti wazan أفْعَلُ , seperti حَوَلَ  dan isim fa’ilnya mengikuti wazan أفْعَلُ  yaitu أحْوَلُ.

Kaidah Pertama


Jika berasal dari Tsulatsi, maka Mudlo’af adalah : Jika ‘Ain dan Lam Fi’ilnya berasal dari Huruf
yang sejenis, seperti :
مَدَّ
Adapun jika berasal dari Ruba’i, maka Mudlo’af adalah : Jika Fa’ dan Lam Fi’il yang pertama berasal dari huruf yang sejenis serta ‘Ain dan Lam Fi’il yang ke dua berasal dari huruf yang sejenis, seperti : طَأْطَأَ
Kaidah Pertama
"إذا كان عين فعله ساكنة، ولامه متحركة، أو كلتاهما متحركتين فالإدغام لازم، نحو : مَدَّ يَمُدُّ مَدًّا"
“Jika Ain Fi’il dan lam Fi’il berasal dari huruf yang sejenis sedang ‘Ain Fi’ilnya mati dan Lam Fi’ilnya hidup atau keduanya hidup maka wajib diidghomkan”
Contoh I’lal :
مَدَّ أصله مَدَدَ، على وزن فَعَلَ، اسكنت الدال الأولى لأجل شرط الإدغام، فصار مَدْدَ، فأدغمت الدال الأولى فى الثانية للمجانسة فصار مَدَّ.
مَدَّ asalnya مَدَدَ mengikuti wazanفَعَلَ, karena ada dua huruf yang sama, maka Dal (د) pertama harus disukun, menjadi مَدْدَ, maka (د) pertama harus diidghomkan ke Dal (د) ke dua karena sejenis, maka menjadi مَدَّ.
يَمُدُّ أصله يَمْدُدُ، على وزن يَفْعُلُ، نقلت حركة الدال الأولى إلى ما قبلها لأجل شرط الإدغام، فصار يَمُدْدُ، فأدغمت الدال الأولى فى الثانية للمجانسة فصار يَمُدُّ.
يَمُدُّ asalnya يَمْدُدُ, mengikuti wazan يَفْعُلُ, karena ada dua huruf yang sejenis, maka Harokat dal (د) pertama harus dipindah ke huruf yang sebelumnya, maka menjadi يَمُدْدُ , maka Dal (د) pertama harus diidghomkan kepada Dal (د) yang ke dua karena sejenis, maka menjadi يَمُدُّ.
مَدًّا أصله مَدْدًا على وزن فَعْلاً، أدغمت الدال الأولى فى الثانية للمجانسة فصار مَدًّا.
مَدًّا Asalnya مَدْدًا, mengikuti wazan فَعْلاً, karena ada dua huruf yang sejenis, maka Dal (د) pertama harus diidghomkan ke Dal (د) kedua, maka menjadi مَدًّا.
Jika ‘Ain fi’il hidup dan lamnya mati yang Lazim, maka Wajib Idzhar (tidak Idghom), seperti مَدَدْنَا
Adapun jika keduanya mati, maka huruf yang kedua harus diberi harokat, baik dengan Fathah karena ringannya Fathah atau dengan Kasroh, sebab jika Sukun harus diharokati, maka diharokati dengan kasroh, atau dengan Dlommah jika ‘Ain fi’il Mudlori’nya didlommah. Sehingga harokatnya harus mengikuti Dlommah, Seperti مُدَّ.
مُدَّ أصله اُمْدُدْ على وزن اُفْعُلْ، نقلت حركة الدال الأولى إلى ما قبلها، لأجل شرط الإدغام، فصار اُمْدُدْ ثم حركت الدال الثانية بالفتح لخفته، أو بالكسر لأن الساكن إذا حرك حرك بالكسر، أو بالضم اتباعا لعين المضارع، فصار اُمُدْدَُِ، ثم ادغمت الدال الأولى فى الثانية للمجانسة فصار اُمُدَُِّ، ثم حذفت همزة الوصل لعدم الإحتياج إليها فصار مُدَُِّ.
مُدَّ asalnya adalah اُمْدُدْ mengikuti wazan اُفْعُلْ, Karena ada dua huruf yang sama, maka Harokat Dal (د) yang pertama dipindahkan ke Huruf sebelumnya, maka menjadi اُمْدُدْ, kemudian Dal (د) kedua diberi harokat Fathah karena Fathah itu ringan, atau dengan kasroh karena jika ada huruf mati maka yang layak menjadi harokat adalah kasroh, atau dengan dlommat karena mengikuti ‘Ain fi’il mudlori’nya berharokat Dlommah, maka menjadi اُمُدْدَُِ, kemudian Dal (د) pertama diidghomkan ke Dal (د) yang kedua karena sejenis, maka menjadi اُمُدَُِّ, kemudian Hamzah Washal dibuang karena sudah tidak dibutuhkan, maka menjadi مُدَُِّ.

Kamis, 08 Desember 2011

Peringatan Tahun Baru Islam adalah Bid’ah ­(Hasanah)


Kemulyaan bulan Muharram
Bulan Muharram (محرم) adalah bulan pertama dalam urutan kalender Hijriyah yang ditetapkan oleh Sayyidina Umar atas Usulan dari Sayyidina Utsman RA. dan Sayyidina Ali Karromallah Wajhah sebagaimana dijelaskan oleh ibnu Hajar dalam Kitab Fathul Bari.
Bulan Muharram sendiri adalah salah satu bulan yang sangat dimulyakan oleh Allah SWT, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya, Surat At-Taubat ayat 36 yang berbunyi :
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan Ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa” (At-Taubah : 36)
Empat Bulan Tersebut kemudian dijelaskan oleh Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Kitabnya Jami’ As-Shahih dari Abu Bakrah.
الزَّمَانُ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَةِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.”(Al-Bukhari : 2958)
Dari Hadist tersebut kita bisa mengetahui bahwa Muharram adalah termasuk bulan yang sangat dimulyakan oleh Allah SWT. Dalam Hadist lain Nabi Muhammad SAW juga menjelaskan kemulyaan puasa pada Bulan Muharram sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitabnya dari abu Hurairah,
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ الصَّلَاةُ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ وَأَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ صِيَامُ شَهْرِ اللَّهِ الْمُحَرَّمِ
“Sholat yang paling Utama setelah sholat Lima waktu adalah Sholat Malam, dan Puasa yang paling Mulya setelah Puasa Ramadlan adalah Puasa Bulan Muharram”.(Shahih Muslim : 1983)
Ibnu Majah juga meriwayatkan Hadist tentang Keutamaan berpuasa di bulan Muharram dari Abu Hurairah RA:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيُّ الصِّيَامِ أَفْضَلُ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ قَالَ شَهْرُ اللَّهِ الَّذِي تَدْعُونَهُ الْمُحَرَّمَ
“Datang seorang Laki-laki kepada Nabi Muhammad SAW, kamudian di bertanya : Puasa apakah yang lebih utama setelah puasa Ramadlan?, maka Nabi menjawab : Puasa yang kamu lakukan di bulan yang kamu sebut dengan Muharram.” (Sunan Ibn Majah : 1732)
Puasa pada hari ke sepuluh bulan Muharram juga bisa menghapus dosa setahun yang lalu, sebagaimana dijelaskan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Qatadah,
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
“Ketika Nabi ditanya tentang puasa ‘Asyura, Nabi menjawab, puasa Asyura bisa menghapus dosa setahun yang lalu”(Shahih Muslim : 1977)
Nabi memerintahkan kita semua untuk berpuasa pada tanggal sepuluh bulan Muharram sebagimana hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dari Hakam Ibn A’raj
عَنْ الْحَكَمِ بْنِ الْأَعْرَجِ قَالَ أَتَيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ رِدَاءَهُ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَسَأَلْتُهُ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ إِذَا رَأَيْتَ هِلَالَ الْمُحَرَّمِ فَاعْدُدْ فَإِذَا كَانَ يَوْمُ التَّاسِعِ فَأَصْبِحْ صَائِمًا فَقُلْتُ كَذَا كَانَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ فَقَالَ كَذَلِكَ كَانَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ
“Dari Hakam bin A’raj berkata : Saya berkunjung ke Ibnu Abbas dan beliau dalam keadaan bersandar pada selendangnya di masjid, kemduian saya bertanya kepadanya tentang Puasa Hari ‘Asyura, maka beliau menjawab : Jika kamu melihat Hilal Bulan Muharram, maka hitunglah harinya, jika sudah sampai tanggal sembilan dari bulan Muharram, maka besoknya berpuasalah, kemudian saya bertanya : Apakah Nabi juga melakukannya? Beliau menjawab : Iya, Nabi Muhammad SAW juga melakukannya.”(Sunan Abi Dawud : 2090)
Menurut Abu Ya’la dalam Kitab Zadul Masir tentang Tafsir Surat At-Taubah ayat 36, ia menjelaskan bahwa empat bulan ini dinamakan dengan Hurum (حرم) karena dua hal :
1.      Karena di dalam bulan ini diharamkan Pembunuhan, Bahkan Orang Jahiliyah pun meyakini hal ini,
2.      Karena digunakan untuk memperkuat larangan untuk berbuat hal-hal yang dilarang daripada di bulan-bulan yang lain. Begitu juga diperkuatnya perintah tha’at.
Dasar-dasar di atas menunjukkan betapa mulyanya Bulan Muharram, bulan dimana Allah menjadikan langit dan Bumi, Bulan dimana Nabi Muhammad SAW memulai hidup barunya di Madinah bersama orang-orang yang beriman dan mendukungnya di masa-masa awal munculnya Islam. Kaum Muslimin yang berhijrah disebut kaum Muhajirin dan Orang-orang penduduk Asli disebut Kaum Anshar, mereka saling sayang menyayangi, mereka diperintahkan Nabi untuk hidup sebagaimana layaknya hidup dengan saudara mereka sendiri.
Apakah memperingati Tahun Baru Islam termasuk Bid’ah Dlalalah yang menjadikan seseorang masuk neraka?
Di saat kebanyakan kaum muslimin banyak melakukan dzikir, berdo’a, mendengarkan nasehat-nasehat penyemangat untuk menggerakkan hati di awal tahun, di tempat lain ada segelintir orang mengatakan bahwa hal-hal yang dilakukan oleh kaum muslimin yang berupa peningkatan do’a, dzikir, pengajian dan puasa-puasa adalah suatu hal yang Bid’ah dan sesat. Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan Bid’ah, apakah jika seseorang melakukan sesuatu yang berbeda dengan Nabi atau melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi walaupun yang dilakukan adalah hal baik, atau sesuatu hal yang lain, mari kita simak pengertian Bid’ah yang dinukil dari beberapa kitab karangan ulama’ salaf maupun kontemporer.
Sebelum kita masuk ke permasalahan apakah Muharram termasuk Bid’ah Dlalalah, mari kita bahas apakah Bid’ah menurut pandangan ulama’ Salafus Shalih.
Bid’ah menurut bahasa adalah أنشأه وبدأه yang berarti : memulai sesuatu dan membuat sesuatu.
Adapun menurut  Isthilah terdapat dua pendapat, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa Bid’ah adalah semua yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah, baik yang baik maupun buruk.
Diantara Ulama’ yang berpendapat seperti ini adalah Al-Imam As-Syafi’i. Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ dan Ibnu Hajar dalam Fathul Barinya mengatakan bahwa Al-Imam As-Syafi’i berpendapat, Bid’ah dibagi menjadi dua, yaitu Bid’ah Mahmudah dan Bid’ah Madzmumah, adapun Bid’ah Madzmumah adalah Bid’ah yang bertentangan dengan sunnah. Dari pembagian kategori yang dilakukan As-Syafi’i, dapat diketahui bahwa semua yang terjadi setelah wafatnya rasulullah adalah Bid’ah, sehingga ia membaginya menjadi dua, yaitu Mahmudah dan Madzmumah.
Al-‘Izz Ibn ‘Adb As-Salam dalam Qawaiid Al-Ahkam mengatakan, bahwa semua yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah SAW adalah Bid’ah. Sehingga beliau membaginya menjadi lima bagian, yaitu : Wajibah, Muharromah, Mandubah, Makruhah dan Mubahah.
Al-Imam Al-Ghazali dalam Ihya’nya mengatakan bahwa apa yang berlawanan dengan Sunnah Nabi disebut dengan Bid’ah Madzmumah dan yang tidak berlawanan dengan hadist Nabi disebut dengan Bid’ah Hasanah.
Hasan Al-Bashry ketika berpendapat tentang Berdo’a ketika seseorang mengkhatamkan Al-Qur’an, beliau mengatakan bahwa hal tersebut adalah Bid’ah Hasanah.
Dalam Tafsir Haqiy disebutkan bahwa Imam Ibnu Malik, seorang pakar Nahwu Mengatakan Bahwa Bid’ah Hasanah adalah Takhsis dari kata Bid’ah seperti ucapan Sayyidina Umar tentang Shalat Tarawih.
Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan bahwa Bid’ah Hasanah adalah sesuatu yang disepakati kesunnatannya.
Syaikh A’bdul Ghony An-nablisy mengatakan bahwa Bid’ah Hasanah yang sesuai dengan Syari’at disebut dengan Sunnah.
Imam Nawawi ketika berpendapat tentang kumpulnya Kaum Muslimin untuk berdo’a setelah Ashar seperti Penduduk Arofah, beliau mengatakan bahwa hal tersebut adalah : Bid’ah Hasanah. Beliau juga berpendapat dalam Tibyannya, bahwa penulisan Mushaf, menulis Al-Qur’an dengan baik dan lain sebagainya adalah termasuk Bid’ah Hasanah atau juga beliau sebut dengan Muhdatsat Hasanah.
Badrud Din ‘Al-‘Aini dalam kitabnya Syarh al-Bukhari mengatakan bahwa sebenarnya Bid’ah adalah sesuatu yang baru, adapun yang dianggap baik oleh Syariat disebut dengan Bid’ah Hasanah. Sedang yang dianggap jelek oleh syari’at maka disebut dengan Bid’ah Qabihah.
Dalam Kitab Tahqiq Al-Roghbah fi Taudhih An-Nukhbah diterangkan bahwa Ibn Al-Atsir mengatakan Bid’ah ada dua macam, yaitu Bid’ah hudan dan Bid’ah Dlalal. Bid’ah Dlalal adalah Bid’ah yang bertentangan dengan perintah Allah dan sunnah Rasulullah, sedang Bid’ah hudan adalah Bid’ah yang tidak bertentangan perintah Allah dan sunnah Rasulullah SAW.
Diantara beberapa hal yang menjadi latar belakang definisi diatas adalah Ucapan Sayyidina Umar tentang Shalat Tarawih berjama’ah yang beliau awali di bulan Ramadlan,
نعم البدعة هذه
“Ini (Shalat Taraweh berjamaah) adalah sebaik-baik Bid’ah”
Selain itu yang menjadi dasar adalah Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jarir
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ
“Barang siapa yang memberi Suri Taualadan yang baik, dan orang lain menirunya, maka dia akan mendapatkan pahala atas apa yang telah ia lakukan tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun”(Shahih Muslim : 4830)
Sehingga dalam kasus ini, Bid’ah Hasanah sering juga disebut dengan sunnah Hasanah.
Kemudian latar belakang yang lain adalah Pengumpulan Al-Qur’an dalam satu Mushhaf, Pemberian Harokat pada Al-Quran beserta titiknya, padahal zaman Nabi tidak pernah dilakukan, Penulisan Hadist dalam satu Kitab padahal pada Zaman Nabi, menulis Hadis adalah hal yang terlarang.
Pendapat yang ke dua adalah pendapat yang mengatakan bahwa Bid’ah adalah kebalikan dari sunnah, Sebagaimana pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : Bid’ah dalam urusan agama adalah apa yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasulnya, yaitu apa yang tidak merupakan perintah wajib juga bukan perintah Sunnah. Adapun Sunnah adalah sesuatu yang merupakan perintah yang wajib dan yang sunnah, dan hal tersebut diketahui dengan Dalil-dalil Syar’iy.
Dalam kitab Al-Irsyad Ila Shahih al-I’tiqad, Shalih bin Fauzan membagi Bid’ah ke dalam dua macam :
Pertama, Bid’ah Qauliyah I’tiqadiyah, seperti ucapan Kaum Jahmiyah, Mu’tazilah, Rafidhah dan semua Firqah-firqah yang sesat lainnya.
Ke dua, Bid’ah dalam masalah ubudiyah, dibagi menjadi beberapa macam, diantaranya :
1)      Bid’ah dalam masalah Dasar Ibadah, seprti membuat suatu ibadah yang tidak disyari’atkan, seperti melakukan sholat atau puasa atau hari raya yang tidak disyari’atkan seperti Maulid Nabi.
2)      Bid’ah yang merupakan dalam Ibadah, seperti menambah rokaat shalat dzuhur atau Ashar menjadi Lima raka’at
3)      Bid’ah dalam Shifat Ibadah, seperti Berdzikir dengan berjama’ah, memaksakan diri dalam beribadah sehingga bertentangan dengan Sunnah
4)      Bid’ah dengan mengkhususkan Suatu Ibadah yang tidak dikhususkan oleh syar’, seperti mengkhususkan puasa Nishf Sya’ban dan Juga Qiyamul Lailnya, Qiyamul Lail dan Puasa adalah Sunnah, tapi untuk mengkhususkannya butuh Dalil.
Ulama’ yang berpendapat dengan pengertian ke dua ini berdasar pada Hadist yang diriwayatkan Oleh Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya dari Jabir :
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Sebaik-baik ucapan adalah firman Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad SAW, dan Perkara yang paling jelek adalah perkara yang diada-adakan, setiap perkara yang diada-adakan adalah Bid’ah dan setiap Bid’ah adalah sesat” (Shahih Muslim : 1435)
Jika dilihat dari Dasar-dasar dan pendapat-pendapat di atas sudah terlihat dengan jelas bahwa pendapat yang lebih rajih adalah pendapat yang pertama disebabkan beberapa alasan, diantaranya :
1)      Jika dilihat dari segi bahasa, terlihat dengan jelas, bahwa Bid’ah adalah segala hal yang baru. Namun disini bukan itu yang menjadi satu-satunya alasan, akan tetapi banyaknya Ulama’ Salafusshalih yang menggunakan definisi tersebut menjadikan definisi pertama lebih kuat daripada yang ke dua.
2)      Jika dilihat dari segi pembagiannya, maka jelaslah bahwa Bid’ah ada dua macam, yaitu Hasanah (Mahmudah) dan Sayyi’ah (Madzmumah). Hal ini diperkuat dengan Ucapan Sayyidina Umar, Penulisan Al-Qur’an dan Hadist serta pemberian harokat serta titiknya. Karena dalam realita kehidupan tidak semua yang baru membawa madlarat atau membawa kesesatan bagi ummat, sesuatu yang baru bisa dikatakan sesat jika hal tersebut mampu menjauhkan pelakunya dari Allah SWT.
3)      Hadis Nabi tentang Kullu Bid’ah Dlolalah, Imam Ibnu Malik pakar Nahwu mengatakan bahwa Kullun disitu bisa ditakhsis dengan Bid’ah Hasanah. Dan memang belum tentu semua yang baru adalah sesat, Misalkan seseorang yang pekerjaannya adalah di siang hari, kemudian dia baru bisa membaca al-qur’an tiap pagi hari atau sore hari, apakah karena mereka mengkhususkan waktunya tersebut bisa disebut Bid’ah?, jawabannya tidak.
4)      Jika kita berpikir secara luas, maka kita akan ingat bahwa Ibadah dibagi menjadi dua, yaitu Mahdlah dan Ghoiru Mahdlah, melakukan segala sesuatu yang berdampak baik, baik kepada kita atau orang lain adalah juga termasuk ibadah, yaitu Ibadah Mahdlah. Maka, Apakah hanya karena Ibadah tersebut dikhususkan dengan waktu menjadikan ibadah tersebut Bid’ah, tentu saja tidak.
5)      Sesuatu baru bisa dikatakan Dlolalah jika hal tersebut mampu menjauhkan hati mereka dari Allah dan juga merupakan hal yang haram. Namun Jika hal tersebut bisa mendorong manusia untuk lebih dekat kepada Allah, maka hal tersebut bukanlah Suatu yang Dlolalah
6)      Nabi Muhammada pernah bersabda bahwa apapun yang tidak dilarang oleh Allah adalah hal yang diperbolehkan oleh Allah dan juga termasuk haln yang diampuni oleh Allah, sebagaimana diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Sunannya dari Salman,
الْحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ
“Perkara Halal adalah perkara yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya, dan perkara Haram adalah perkara yang diharamkan oleh Allah dalam kitab-Nya, adapun yang didiamkan, maka Allah memaafkannya”(Sunan At-tirmidzi : 1648)
Dengan melihat penjelasan tentang Bid’ah diatas kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa :
1)      Jika dalam memperingati tahun baru islam, kaum Muslimin melakukan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah, seperti berpuasa, Qiyamul Lail, memperbanyak Istighfar dan permohonan ampunan, memperbanyak do’a dan Lain sebagainya, maka hal tersebut teermasuk Bid’ah Hasanah
2)      Namun jika dalam memperingati tahun Baru Islam, Kaum Muslimin melakukan hal-hal yang dilarang oleh Syari’at seperti minum-minuman keras, berzina, Berjudi, bermain Musik yang menjadikan mereka melupakan Allah, menganggap bulan Muhaarram sebagai bulan sial dan lain sebagainya, maka Hal tersebut termasuk Bid’ah dlalalah.
3)      Sebaikanya dalam Akhir dan awal tahun Hijriyah semuanya melakukan Muhasabah dengan menyesali semua perbuatan dosanya selama tahun dan berjanji untuk tidak melakukannya, serta membuat planning ke depan, untuk kehidupan lebih sejahtera, lebih semangat beribadah dengan semangat yang diajarkan Nabi ketika berhijarah ke  Madinah, semangat saling menghormati, saling menyayangi dan saling menanggung antar kaum Muslimin tanpa saling membedakan antar kaum.
Semoga tulisan ini barokah dan bermanfaat, akhirnya kami memohon kritikan yang membangun dari para pembaca yang budiman, terima kasih.
                                                                                    Turab al-Aqdam
                                                                                              Zen
                                                                         (Santri PP. Matholi’ul Anwar)