Kemulyaan bulan Muharram
Bulan Muharram
(محرم) adalah bulan pertama
dalam urutan kalender Hijriyah yang ditetapkan oleh Sayyidina Umar atas Usulan
dari Sayyidina Utsman RA. dan Sayyidina Ali Karromallah Wajhah sebagaimana
dijelaskan oleh ibnu Hajar dalam Kitab Fathul Bari.
Bulan Muharram
sendiri adalah salah satu bulan yang sangat dimulyakan oleh Allah SWT, sebagaimana
dijelaskan dalam firman-Nya, Surat At-Taubat ayat 36 yang berbunyi :
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ
عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا
فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ
كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam
bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana
merekapun memerangi kamu semuanya, dan Ketahuilah bahwasanya Allah beserta
orang-orang yang bertakwa” (At-Taubah : 36)
Empat Bulan
Tersebut kemudian dijelaskan oleh Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dalam Kitabnya Jami’ As-Shahih dari Abu Bakrah.
الزَّمَانُ قَدْ اسْتَدَارَ
كَهَيْئَةِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا
مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ
وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
”Setahun
berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu
tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga
bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan
lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.”(Al-Bukhari : 2958)
Dari Hadist
tersebut kita bisa mengetahui bahwa Muharram adalah termasuk bulan yang sangat
dimulyakan oleh Allah SWT. Dalam Hadist lain Nabi Muhammad SAW juga menjelaskan
kemulyaan puasa pada Bulan Muharram sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim
dalam Kitabnya dari abu Hurairah,
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ
بَعْدَ الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ الصَّلَاةُ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ وَأَفْضَلُ الصِّيَامِ
بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ صِيَامُ شَهْرِ اللَّهِ الْمُحَرَّمِ
“Sholat
yang paling Utama setelah sholat Lima waktu adalah Sholat Malam, dan Puasa yang
paling Mulya setelah Puasa Ramadlan adalah Puasa Bulan Muharram”.(Shahih Muslim
: 1983)
Ibnu Majah
juga meriwayatkan Hadist tentang Keutamaan berpuasa di bulan Muharram dari Abu
Hurairah RA:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيُّ الصِّيَامِ أَفْضَلُ بَعْدَ
شَهْرِ رَمَضَانَ قَالَ شَهْرُ اللَّهِ الَّذِي تَدْعُونَهُ الْمُحَرَّمَ
“Datang
seorang Laki-laki kepada Nabi Muhammad SAW, kamudian di bertanya : Puasa apakah
yang lebih utama setelah puasa Ramadlan?, maka Nabi menjawab : Puasa yang kamu
lakukan di bulan yang kamu sebut dengan Muharram.” (Sunan Ibn Majah : 1732)
Puasa pada
hari ke sepuluh bulan Muharram juga bisa menghapus dosa setahun yang lalu,
sebagaimana dijelaskan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi
Qatadah,
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ
يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
“Ketika
Nabi ditanya tentang puasa ‘Asyura, Nabi menjawab, puasa Asyura bisa menghapus
dosa setahun yang lalu”(Shahih Muslim : 1977)
Nabi memerintahkan
kita semua untuk berpuasa pada tanggal sepuluh bulan Muharram sebagimana hadist
yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dari Hakam Ibn A’raj
عَنْ الْحَكَمِ بْنِ
الْأَعْرَجِ قَالَ أَتَيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ رِدَاءَهُ
فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَسَأَلْتُهُ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ إِذَا
رَأَيْتَ هِلَالَ الْمُحَرَّمِ فَاعْدُدْ فَإِذَا كَانَ يَوْمُ التَّاسِعِ فَأَصْبِحْ
صَائِمًا فَقُلْتُ كَذَا كَانَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ
فَقَالَ كَذَلِكَ كَانَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ
“Dari Hakam
bin A’raj berkata : Saya berkunjung ke Ibnu Abbas dan beliau dalam keadaan
bersandar pada selendangnya di masjid, kemduian saya bertanya kepadanya tentang
Puasa Hari ‘Asyura, maka beliau menjawab : Jika kamu melihat Hilal Bulan
Muharram, maka hitunglah harinya, jika sudah sampai tanggal sembilan dari bulan
Muharram, maka besoknya berpuasalah, kemudian saya bertanya : Apakah Nabi juga
melakukannya? Beliau menjawab : Iya, Nabi Muhammad SAW juga melakukannya.”(Sunan
Abi Dawud : 2090)
Menurut Abu
Ya’la dalam Kitab Zadul Masir tentang Tafsir Surat At-Taubah ayat 36, ia
menjelaskan bahwa empat bulan ini dinamakan dengan Hurum (حرم) karena dua hal :
1.
Karena di dalam bulan ini
diharamkan Pembunuhan, Bahkan Orang Jahiliyah pun meyakini hal ini,
2.
Karena digunakan untuk
memperkuat larangan untuk berbuat hal-hal yang dilarang daripada di bulan-bulan
yang lain. Begitu juga diperkuatnya perintah tha’at.
Dasar-dasar di
atas menunjukkan betapa mulyanya Bulan Muharram, bulan dimana Allah menjadikan
langit dan Bumi, Bulan dimana Nabi Muhammad SAW memulai hidup barunya di
Madinah bersama orang-orang yang beriman dan mendukungnya di masa-masa awal
munculnya Islam. Kaum Muslimin yang berhijrah disebut kaum Muhajirin dan
Orang-orang penduduk Asli disebut Kaum Anshar, mereka saling sayang menyayangi,
mereka diperintahkan Nabi untuk hidup sebagaimana layaknya hidup dengan saudara
mereka sendiri.
Apakah memperingati Tahun Baru
Islam termasuk Bid’ah Dlalalah
yang menjadikan seseorang masuk neraka?
Di saat
kebanyakan kaum muslimin banyak melakukan dzikir, berdo’a, mendengarkan
nasehat-nasehat penyemangat untuk menggerakkan hati di awal tahun, di tempat
lain ada segelintir orang mengatakan bahwa hal-hal yang dilakukan oleh kaum muslimin
yang berupa peningkatan do’a, dzikir, pengajian dan puasa-puasa adalah suatu
hal yang Bid’ah dan sesat. Sebenarnya
apakah yang dimaksud dengan Bid’ah,
apakah jika seseorang melakukan sesuatu yang berbeda dengan Nabi atau melakukan
sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi walaupun yang dilakukan adalah hal baik,
atau sesuatu hal yang lain, mari kita simak pengertian Bid’ah yang dinukil dari beberapa kitab karangan ulama’ salaf
maupun kontemporer.
Sebelum kita
masuk ke permasalahan apakah Muharram termasuk Bid’ah Dlalalah, mari kita bahas apakah Bid’ah menurut pandangan ulama’ Salafus Shalih.
Bid’ah menurut bahasa adalah أنشأه وبدأه yang berarti :
memulai sesuatu dan membuat sesuatu.
Adapun
menurut Isthilah terdapat dua pendapat,
yaitu pendapat yang mengatakan bahwa Bid’ah
adalah semua yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah, baik yang baik maupun
buruk.
Diantara
Ulama’ yang berpendapat seperti ini adalah Al-Imam As-Syafi’i. Abu Nu’aim dalam
Hilyatul Auliya’ dan Ibnu Hajar dalam Fathul Barinya mengatakan bahwa Al-Imam
As-Syafi’i berpendapat, Bid’ah dibagi
menjadi dua, yaitu Bid’ah Mahmudah dan Bid’ah Madzmumah, adapun Bid’ah
Madzmumah adalah Bid’ah yang bertentangan dengan sunnah. Dari
pembagian kategori yang dilakukan As-Syafi’i, dapat diketahui bahwa semua yang
terjadi setelah wafatnya rasulullah adalah Bid’ah,
sehingga ia membaginya menjadi dua, yaitu Mahmudah dan Madzmumah.
Al-‘Izz Ibn
‘Adb As-Salam dalam Qawaiid Al-Ahkam mengatakan, bahwa semua yang terjadi
setelah wafatnya Rasulullah SAW adalah Bid’ah.
Sehingga beliau membaginya menjadi lima bagian, yaitu : Wajibah, Muharromah,
Mandubah, Makruhah dan Mubahah.
Al-Imam
Al-Ghazali dalam Ihya’nya mengatakan bahwa apa yang berlawanan dengan Sunnah Nabi
disebut dengan Bid’ah Madzmumah dan yang tidak berlawanan
dengan hadist Nabi disebut dengan Bid’ah
Hasanah.
Hasan
Al-Bashry ketika berpendapat tentang Berdo’a ketika seseorang mengkhatamkan
Al-Qur’an, beliau mengatakan bahwa hal tersebut adalah Bid’ah Hasanah.
Dalam Tafsir
Haqiy disebutkan bahwa Imam Ibnu Malik, seorang pakar Nahwu Mengatakan Bahwa Bid’ah Hasanah adalah Takhsis dari kata Bid’ah seperti ucapan Sayyidina Umar tentang Shalat Tarawih.
Ibnu Hajar
Al-Haitami mengatakan bahwa Bid’ah Hasanah adalah sesuatu yang disepakati
kesunnatannya.
Syaikh A’bdul
Ghony An-nablisy mengatakan bahwa Bid’ah
Hasanah yang sesuai dengan Syari’at
disebut dengan Sunnah.
Imam Nawawi
ketika berpendapat tentang kumpulnya Kaum Muslimin untuk berdo’a setelah Ashar
seperti Penduduk Arofah, beliau mengatakan bahwa hal tersebut adalah : Bid’ah Hasanah. Beliau juga berpendapat dalam Tibyannya, bahwa penulisan
Mushaf, menulis Al-Qur’an dengan baik dan lain sebagainya adalah termasuk Bid’ah Hasanah atau juga beliau sebut dengan Muhdatsat Hasanah.
Badrud Din
‘Al-‘Aini dalam kitabnya Syarh al-Bukhari mengatakan bahwa sebenarnya Bid’ah adalah sesuatu yang baru, adapun
yang dianggap baik oleh Syariat disebut dengan Bid’ah Hasanah. Sedang
yang dianggap jelek oleh syari’at maka disebut dengan Bid’ah Qabihah.
Dalam Kitab
Tahqiq Al-Roghbah fi Taudhih An-Nukhbah diterangkan bahwa Ibn Al-Atsir
mengatakan Bid’ah ada dua macam,
yaitu Bid’ah hudan dan Bid’ah Dlalal. Bid’ah Dlalal adalah Bid’ah yang bertentangan dengan perintah
Allah dan sunnah Rasulullah, sedang Bid’ah
hudan adalah Bid’ah yang tidak
bertentangan perintah Allah dan sunnah Rasulullah SAW.
Diantara
beberapa hal yang menjadi latar belakang definisi diatas adalah Ucapan
Sayyidina Umar tentang Shalat Tarawih berjama’ah yang beliau awali di bulan
Ramadlan,
نعم البدعة هذه
“Ini (Shalat Taraweh berjamaah) adalah sebaik-baik Bid’ah”
Selain itu
yang menjadi dasar adalah Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dari Jarir
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ
سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا
وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ
“Barang
siapa yang memberi Suri Taualadan yang baik, dan orang lain menirunya, maka dia
akan mendapatkan pahala atas apa yang telah ia lakukan tanpa mengurangi
pahalanya sedikitpun”(Shahih Muslim : 4830)
Sehingga dalam kasus ini, Bid’ah Hasanah sering juga disebut dengan sunnah Hasanah.
Kemudian latar
belakang yang lain adalah Pengumpulan Al-Qur’an dalam satu Mushhaf, Pemberian
Harokat pada Al-Quran beserta titiknya, padahal zaman Nabi tidak pernah
dilakukan, Penulisan Hadist dalam satu Kitab padahal pada Zaman Nabi, menulis
Hadis adalah hal yang terlarang.
Pendapat yang
ke dua adalah pendapat yang mengatakan bahwa Bid’ah adalah kebalikan dari sunnah, Sebagaimana pendapat Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah : Bid’ah dalam
urusan agama adalah apa yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasulnya, yaitu
apa yang tidak merupakan perintah wajib juga bukan perintah Sunnah. Adapun
Sunnah adalah sesuatu yang merupakan perintah yang wajib dan yang sunnah, dan
hal tersebut diketahui dengan Dalil-dalil Syar’iy.
Dalam kitab
Al-Irsyad Ila Shahih al-I’tiqad, Shalih bin Fauzan membagi Bid’ah ke dalam dua macam :
Pertama, Bid’ah Qauliyah I’tiqadiyah,
seperti ucapan Kaum Jahmiyah, Mu’tazilah, Rafidhah dan semua Firqah-firqah yang
sesat lainnya.
Ke dua, Bid’ah dalam masalah ubudiyah, dibagi
menjadi beberapa macam, diantaranya :
1)
Bid’ah dalam masalah Dasar Ibadah, seprti membuat suatu ibadah yang
tidak disyari’atkan, seperti melakukan sholat atau puasa atau hari raya yang
tidak disyari’atkan seperti Maulid Nabi.
2)
Bid’ah yang merupakan dalam Ibadah, seperti menambah rokaat shalat
dzuhur atau Ashar menjadi Lima raka’at
3)
Bid’ah dalam Shifat Ibadah, seperti Berdzikir dengan berjama’ah,
memaksakan diri dalam beribadah sehingga bertentangan dengan Sunnah
4)
Bid’ah dengan mengkhususkan Suatu Ibadah yang tidak dikhususkan
oleh syar’, seperti mengkhususkan puasa Nishf Sya’ban dan Juga Qiyamul Lailnya, Qiyamul Lail dan Puasa adalah Sunnah, tapi untuk mengkhususkannya
butuh Dalil.
Ulama’ yang
berpendapat dengan pengertian ke dua ini berdasar pada Hadist yang diriwayatkan
Oleh Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya dari Jabir :
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ
كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Sebaik-baik
ucapan adalah firman Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad
SAW, dan Perkara yang paling jelek adalah perkara yang diada-adakan, setiap
perkara yang diada-adakan adalah Bid’ah dan setiap Bid’ah adalah sesat” (Shahih
Muslim : 1435)
Jika dilihat
dari Dasar-dasar dan pendapat-pendapat di atas sudah terlihat dengan jelas
bahwa pendapat yang lebih rajih adalah pendapat yang pertama disebabkan
beberapa alasan, diantaranya :
1)
Jika dilihat dari segi
bahasa, terlihat dengan jelas, bahwa Bid’ah
adalah segala hal yang baru. Namun disini bukan itu yang menjadi satu-satunya
alasan, akan tetapi banyaknya Ulama’ Salafusshalih yang menggunakan definisi
tersebut menjadikan definisi pertama lebih kuat daripada yang ke dua.
2)
Jika dilihat dari segi
pembagiannya, maka jelaslah bahwa Bid’ah
ada dua macam, yaitu Hasanah (Mahmudah)
dan Sayyi’ah (Madzmumah). Hal ini
diperkuat dengan Ucapan Sayyidina Umar, Penulisan Al-Qur’an dan Hadist serta
pemberian harokat serta titiknya. Karena dalam realita kehidupan tidak semua
yang baru membawa madlarat atau membawa kesesatan bagi ummat, sesuatu yang baru
bisa dikatakan sesat jika hal tersebut mampu menjauhkan pelakunya dari Allah
SWT.
3)
Hadis Nabi tentang Kullu Bid’ah Dlolalah, Imam Ibnu Malik pakar
Nahwu mengatakan bahwa Kullun disitu bisa ditakhsis dengan Bid’ah Hasanah. Dan
memang belum tentu semua yang baru adalah sesat, Misalkan seseorang yang
pekerjaannya adalah di siang hari, kemudian dia baru bisa membaca al-qur’an
tiap pagi hari atau sore hari, apakah karena mereka mengkhususkan waktunya tersebut
bisa disebut Bid’ah?, jawabannya
tidak.
4)
Jika kita berpikir secara
luas, maka kita akan ingat bahwa Ibadah dibagi menjadi dua, yaitu Mahdlah dan
Ghoiru Mahdlah, melakukan segala sesuatu yang berdampak baik, baik kepada kita
atau orang lain adalah juga termasuk ibadah, yaitu Ibadah Mahdlah. Maka, Apakah
hanya karena Ibadah tersebut dikhususkan dengan waktu menjadikan ibadah
tersebut Bid’ah, tentu saja tidak.
5)
Sesuatu baru bisa dikatakan
Dlolalah jika hal tersebut mampu menjauhkan hati mereka dari Allah dan juga
merupakan hal yang haram. Namun Jika hal tersebut bisa mendorong manusia untuk
lebih dekat kepada Allah, maka hal tersebut bukanlah Suatu yang Dlolalah
6)
Nabi Muhammada pernah
bersabda bahwa apapun yang tidak dilarang oleh Allah adalah hal yang
diperbolehkan oleh Allah dan juga termasuk haln yang diampuni oleh Allah, sebagaimana
diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Sunannya dari Salman,
الْحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ
وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا
عَفَا عَنْهُ
“Perkara Halal adalah perkara yang dihalalkan oleh Allah
dalam kitab-Nya, dan perkara Haram adalah perkara yang diharamkan oleh Allah
dalam kitab-Nya, adapun yang didiamkan, maka Allah memaafkannya”(Sunan
At-tirmidzi : 1648)
Dengan melihat
penjelasan tentang Bid’ah diatas kita
bisa mengambil kesimpulan, bahwa :
1)
Jika dalam memperingati
tahun baru islam, kaum Muslimin melakukan hal-hal yang diperintahkan oleh
Allah, seperti berpuasa, Qiyamul Lail, memperbanyak Istighfar dan
permohonan ampunan, memperbanyak do’a dan Lain sebagainya, maka hal tersebut
teermasuk Bid’ah Hasanah
2)
Namun jika dalam
memperingati tahun Baru Islam, Kaum Muslimin melakukan hal-hal yang dilarang
oleh Syari’at seperti minum-minuman keras, berzina, Berjudi, bermain Musik yang
menjadikan mereka melupakan Allah, menganggap bulan Muhaarram sebagai bulan
sial dan lain sebagainya, maka Hal tersebut termasuk Bid’ah dlalalah.
3)
Sebaikanya dalam Akhir dan
awal tahun Hijriyah semuanya melakukan Muhasabah dengan menyesali semua
perbuatan dosanya selama tahun dan berjanji untuk tidak melakukannya, serta
membuat planning ke depan, untuk kehidupan lebih sejahtera, lebih semangat
beribadah dengan semangat yang diajarkan Nabi ketika berhijarah ke Madinah, semangat saling menghormati, saling
menyayangi dan saling menanggung antar kaum Muslimin tanpa saling membedakan
antar kaum.
Semoga tulisan
ini barokah dan bermanfaat, akhirnya kami memohon kritikan yang membangun dari
para pembaca yang budiman, terima kasih.
Turab
al-Aqdam
Zen
(Santri
PP. Matholi’ul Anwar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar