Pages

Sabtu, 29 Mei 2010

PERBANDINGAN HUKUM ANTAR KELUARGA MUSLIM

Hukum Perkawinan di Negara Muslim
Perkawinan & Pranata Sosial

 Perkawinan dan keluarga sebagai pranata sosial: perlu diatur dalam ‘norma’ : Sederhana dan kompleks
 Islam: perkawinan dan keluarga diatur dalam norma ‘hukum agama’: pengaturan seksualitas, keturunan/nasab, kepemilikan harta (patrilinial)
 Pengaturan bersifat: subtantif, administratif dan otoritas:
 Masa Nabi & Khulafa’ Rosyidin: berada pada pemimpin tertinggi
 Masa kerajaan Islam: terjadi pemisahan kekuasaan politik dan kekuasaan ‘hukum’: pada qodli
 Munculnya fiqh: Syiyasah, Jinayah, Ahwal-Asy Syahsiyah, Munakahat, dll
 Munculnya negara bangsa: Qonun dan undang-undang

Hukum Perkawinan Islam Modern

 Pemberlakuan fiqih secara utuh dan parsial: 661- 750 (Bani Ummayah); 750-1300: Bani Abbasiyah; 1300-1600 (Turki Ustmani) dan juga di kerajaan-kerajaan Islam lain: Samudra Pasai, Kerajaan Melayu, Demak, dll (Ziba Mir Husaini)
 Di Indonesia:
 Pada masa Kolonial:
 statuta Batavia 1642: mengatur tentang perkawinan dengan pemisahan rasial dan agama
 1779: Pembentukan Peradilan: Umum dan Adat (agama)
 1808: peghulu Islam diberi wewenang menyelenggarakan urusan perkawinan dan warisan
 Kemerdekaan:
 Meneruskan dualisme administratsi hukum: Peradilan umum & agama
 Mengatur hukum perkawinan Islam modern: UU no.22/1946: Nikah, talak, cerai dan rujuk
 UU no. 1/1974: Hukum perkawinan Indonesia (Nasional): golongan: etnis, agama dan budaya

Hukum Perkawinan & Konsep Negara Bangsa

 Masalah kebersesuaian antara Fiqh dan konsep negara bangsa: Perlunya Pembaharuan Hukum?
 Negara bangsa Vs negara monarkhi:
 Yurisdiksi teritorial: kemajemukan etnis, agama dan budaya Vs kekuasaan ‘agama dan etnis’
 Demokrasi: netralitas negara Vs Teokrasi dan etno-politik: kekuasaan berdasarkan ‘mayoritas nominal’
 Keadilan dan Kepastian hukum Vs Hukum interpretatif

Kebutuhan Hukum yang Memadai

 Pendidikan makin meningkat: Kesadaran baru tentang keadilan, hak dan kewajiban (terutama dikalangan perempuan)
 Pergeseran bentuk keluarga: keluarga besar menuju keluarga batih/keluarga inti: pergeseran keluarga poligami- monogami
 Meluasnya bentuk keluarga konjugal berbasis ‘gaji’ (wage-based family) karena modernisasi ekonomi politik
 Meningkatnya keluarga dengan peran ganda produktif (suami dan istri bekerja)

Kebutuhan Hukum yang Memadai

 Praktek-praktek hukum dipandang tidak sesuai dengan tatanan masyarakat yang ‘modern’
 Munculnya kesadaran baru tentang “keadilan”
 Munculnya kesadaran baru: Hak & kewajiban
 Hukum Keluarga: benteng Terakhir umat Islam
 Munculnya kelompok: Sekuler, tradisional dan reformist terhadap ‘hukum negara’:
 Kelompok sekuler: Hukum modern/rasional
 Kelompok tradisionalis: mempertahankan fiqih
 Kelompok reformis: akomodasi antara hukum modern dan hukum fiqih untuk umat Islam

UU no. 1/1974: Hukum Perkawinan Indonesia

 Ketegangan ideologis: sekuler, tradisionalis dan reformis: Substansi, administrasi dan kompetensi/ otoritas:
 Sekuler: adanya unifikasi hukum: substansi, yurisdiksi-administrasi dan kompetensi/otoritas
 Tradisionalis: dualisme hukum: substansi: figh: keabsahan nikah: tidak perlu dicatatkan, yusisdiksi-administrasi: peradilan khusus dan kompetensi/otoritas: “penghulu”: jabatan teologis: “karismatik”
 Reformis: unifikasi hukum dengan ‘pengecualian” subtansi: masalah poligami; dualisme yurisdiksi-administrasi: sistem peradilan khusus dan kompetensi: sistem pendidikan khusus “ rasional”

UU No. 1/1974 Suatu Jalan Tengah

 Pertentangan: sekuler, tradisional dan reformis:
 Pencatatan perkawinan dan perceraian: sekuler dan reformis bersatu
 Poligami dan perkawinan antar agama: tradisional dan reformis bersatu
 Kalangan reformis bernegosiasi dengan kelompok tradisional: kerangka kerja (framework) namun banyak mengubah substansi

Efektifitas Hukum Nasional

 Menurunnya angka perceraian secara signifikan: 70 %
 Meningkatnya usia nikah
 Menurunnya poligami secara drastis (secara tercatat)
 Menurunnya angka ‘kawin paksa’
 Makin banyak pasangan menentukan pilihannya
• Metode Pembaharuan Hukum Keluarga
• Takhsis al-Qadha Siyasah-syari’ah : perubahan administrasi mempertahankan substansi
• Yakhayyur : memilih pendapat ulama’ yang relavan :empat mazhab dan lainnya :Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah
• Talfiq : menggabungkan pendapat para ulama’ dalam satu masalah
• Ijtihad : reinterpretasi nas (teks Syariah ) : qiyas, maslahah mursalah dll.
• Metode alternatif : pemberian sanksi hukum yang tidak diatur dalam fiqih.

PENCATATAN PERKAWINAN

Pencatatan Nikah (Kitab Konvensional)

• Pencatatan sebagai rukun pernikahan: tidak ditemukan dalam kitab-kitab klasik/konvensional
• Khairudin Nasution: Pencatatan perkawinan dimaksudkan untuk menghindari maksud ‘merahasiakan’ suatu pernikahan:
• Hanafiyah: Saksi menjadi rukun nikah (: menghindari kerahasiaan)
• Syahnun (al-Mudawwanah): membahas tentang nikah sirri
• Maliki: Saksi tidak menjadi rukun tetapi i’lan (pengumuman) dengan menggunakan bunyi-bunyian ( hadist Aisyah dan umm Salamah)
• Syafii; Saksi 2 laki-laki; Sarakhsi: 2 perempuan dan 1 laki-laki
Pencatatan Perkawinan (UU kontemporer)
• Indonesia: Pencatatan bukan menjadi rukun perkawinan tetapi merupakan persyaratan administratif kenegaraan
• UU no. 22/ 1946: Pencatatan Nikah, Talak dan dan Rujuk: Perkawinan yang tidak dicatatkan: suatu pelanggaran tetapi tidak membatalkan perkawinan
• PP No.9 /1975: Pelanggaran Pencatatan perkawinan: denda Rp. 7.500,-
• Isbat nikah: hanya untuk keperluan perceraian (Peraturan Makhamah Agung)

Pencatatan Perkawinan UU Kontemporer

• Pencatatan sebagai suatu keharusan; pelanggaran: sanksi hukum dan tidak diberikan penetapan hukum (Brunai, Singapura, Mesir, Iran, India, Pakistan, Yordan, Tunisia, Irak dan Yaman)
• Pencatatan sebagai persyaratan administratif tetapi tidak memberikan status perkawinan jika terjadi pelanggaran (Pillipina, libanon, Maroko, Libya)
• Mengharuskan pencatatan tetapi mengakui perkawinan yang tidak dicatatkan: syria
• Pencatatan: syarat administrasi dan sanksi administrasi
(Indonesia dan malaysia (kecuali Kelantan)

 Malaysia
• Pencatatan merupakan kewajiban administratif: setelah terjadinya akad (Kelantan: sampai 7 hari setelah akad: wali, 2 saksi dan pendaftar)

 Brunei dan Singapura
• Pencatatan perkawinan diwajibkan secara administratif
• Pelanggaran dihukum penjara dan denda
• Pillipina: tidak kejelasan konsekuensi terhadap pelanggaran pencatatan

 Mesir
UU Peradilan Syariah 1879, UU no. 1913, UU 1931: Pencatatan diperlukan tetapi tidak ada sanksi hukum thdp pelanggaran.

 Libanon: UU no. 24/1948:
• Bukti akad nikah harus dikirim ke pengadilan untuk mendapatkan sertifikat.
• Tidak ada sanksi terhadap pelanggaran
• Yordan: UU no. 16/1976:
• Pelanggaran dihukum: mempelai dan pihak yang menikahkan

• Syiria dan Irak dan Yaman
• Perkawinan dilakukan di pengadilan; diluar pengadilan dapat disahkan tetapi dikenakan hukuman: 6 bulan penjara: belum pernah menikah; 1 tahun penjara: sudah pernah menikah
• Tunisia: Perkawinan hanya sah dengan ‘dokumen resmi’ pemerintah
• Maroko:
• Pengesahan 2 orang notaris : sahnya perkawinan
• Sertifikat asli diberikan pada istri dan suami mendapatkan salinan
• Aljazair: tidak mencantum masalah pencatatan perkawinan



 Pakistan, Banglasdesh
• Perkawinan wajib dicatatkan: sesuai dengan al-Qur’an: transaksi penting harus dicatat : Qiyas pada masalah ‘bai’ (jual beli)
• Tidak menjadi syarat sah perkawinan
• Pelanggaran pencatatan: hukum kurungan 3 bulan dan denda 1000 rupee

Pandangan Intelektual
• Pandangan Ahli hukum:
• Pencatatan perkawinan menjadi sahnya perkawinan: Hukum perdata secara umum, praktek-praktek hukum badan publik dan semangat dari UUP 1974
• Ulama Islam
• Sah perkawinan adalah ijab kobulnya bukan pencatatannya
• Akta perkawinan satu-satu bukti dalam keperdataan
• Pencegahan dan Pembatalan perkawinan hanya dapat dilakukan berdasarkan akta nikah
• UUP 1/ 1974: sah perkawinan: 2 syarat komulatif: sah menurut agama & sah menurut negara
• PP 9/1975: Perkawinan yang sah: dilakukan secara agama dan dicatat dimuka petugas pencatat nikah dan dua saksi
• Ulama Muslim:KH Hasbullah Bakri
• Sahnya nikah: ijab kobul
• Kebiasan UU no. 22/1946 & UU 22/1952:
• Petugas bertugas mengawasi (tidak menikahkan)
• UU 1974: psl dan 2 : tidak bersifat kumulatif tetapi alternatif
• Pelanggaran mencatatan tidak membatalkan sahnya perkawinan
• Akan menyusahkan orang-orang di daerah terpencil
• Wasit Aulawi: UUP: pencatatan sebagai sahnya perkawinan. PPP dan ulama menentang:
• kompromi: sah administratif

POLIGAMI

1. Konsep Fiqh Konvensional
2. Perundang-undangan
• Indonesia
• Negara –negara Asia Tenggara
• Negara Muslim lain
3. Pandangan Intelektual

1.Konsep Fiqh Konvensional
• An-Nisa (4): 3
1. Mazhab Hanafi:
• As-Sarakhsi dalam al-Mabsud: Suami yang poligami harus adil
• Al- Kasani: Suami yang poligami wajib berbuat adil terhadap isteri-isterinya, dan adil adalah hak isteri

2. Imam Malik dalam al-Muwatta’:
• Kasus pria bangsa thaqif yang masuk Islam dan memiliki 10 isteri, maka Nabi menyuruh mempertahankan maksimal 4
3. Imam as-Syafi’I
Dalam al-Um:
• Memperbolehkan maksimal 4
• Tuntutan adil adalah urusan fisik
• Adil adalah hak isteri
4. Ibnu Qudamah dari mazhab Hanbali
• Laki-laki boleh menikahi wanita maksimal 4

 Kesimpulan
• Poligami boleh dan bukan sunnah atau bahkan wajib.
• Suami harus adil
• Jumlah isteri maksimal 4
• Asy-Syafi’I memaksudkan adil adalah dalam hal fisik

2. Perundang-undangan

• Indonesia (UU no. 1/1974(
1. Asasnya Monogami
2. Boleh Poligami maksimal 4
3. Bagi PNS laki-laki yang akan poligami harus ada izin dari pejabat apabila memenuhi sekurang-kurangnya satu syarat alternati dan ketiga syarat kumulatif, dan bagi wanita PNS tidak boleh menjadi isteri kedua/ketiga/keempat (PP.No.10/1983)
Syarat alternatif:
1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya
2. Isteri mendapat cacat tubuh yang tidak bisa disembuhkan
3. Isteri tidak memiliki keturunan
Syarat Kumulatif:
1. Ada persetujuan tertulis dari isteri
2. Adanya kepastian suami akan mampu menjamin hidup isteri dan anak-anaknya
3. Adanya jaminan tertulis bahwa suami mampu berbuat adil

 Negara-negara Asia Tenggara

• Malaysia
Terkait dengan:
• Syarat
• Alasan
• prosedur
• Syarat : Harus ada izin tertulis dari hakim (Pengadilan)
• Alasan:
Dari pihak Isteri :Mandul, uzur jasmani, tidak layak dari segi jasmani untuk bersetubuh, sengaja tidak mau memulihkan hak-hak persetubuhan, dan gila.
Dari pihak suami : mampu, berusaha adil, tidak menyebabkan bahaya terhadap agama, nyawa, badan, akal dan harta isteri yang lebih dahulu dinikahi, perkawinan itu akan menyebabkan turunnya martabat isteri-isteri atau orang-orang yang terkait dengan perkawinan langsung atau tidak.

 Pengecualian
• UU serawak tidak mencantumkan poin 4 dari pihak suami
• UU Perak hanya mencantumkan berlaku adil terhadap isteri-isterinya
• UU kelantan tidak mensyaratkan sesuatupun bagi laki-laki yang akan poligami
• Prosedur
1. Suami mengajukan permohonan
2. Pemanggilan pemohon dan isteri/isteri-isterinya oleh pengadilan
3. Putusan pengadilan



 Brunai
• Dalam akta majlis Ugama Islam dan Mahkamah Kadi Brunei, tidak ada bahasan khusus tentang poligami.
Catatan: Poligami merupakan salah satu penyebab perceraian karena isteri tidak mau dimadu
Singapura
• Hampir sama dengan Brunai Perundang-undangan perkawinan Singapura tidak menyinggung poligami
Catatan: Hakim dalam prakteknya tidak memberikan persetujuan/izin poligami

 Philipina
• UU Keluarga Philippines No. 1083 tahun 1977 ditetapkan, meskipun poligami diperbolehkan sampai 4 isteri tetapi pembolehan itu hanya tindakan pengecualian dengan syarat suami dapat berbuat adil diantara isteri-isterinya.

 Negara Muslim lain

• Turki, melarang mutlak dengan UU Civil Turki Tahun 1926.
• Mesir,UU No.100 Tahun 1985Poligami dapat menjadi alasan perceraian dan pengadilan harus memberitahukan kepada isterinya tentang rencana poligami, bagi yang melanggar ada hukuman.Ada beberapa draft UU yang diusulkan.
• Iran, Poligami tanpa izin Pengadilan dihukum 2 tahun penjara.
• Bangladesh dan Pakistan , Poligami harus seizin pengadilan

 Tunisia
• Melarang
• Tidak bisa adil yang bisa hanya nabi Muhammad
Yordania
• Tidak ada larangan/boleh
• Poligami banyak menyebabkan perceraian
• Bisa dimasukkan ta’lik talaq

 Irak
• Poligami harus izin hakim
• Bisa menjadi alasan bagi isteri
• Izin tergantung pada:
 Kemampuan suami memberi nafkah
• Adanya kemaslahatan
• Jaminan suami berlaku adil

 Syiria
• Boleh tergantung hakim
• Ada tidaknya alasan hukum
• Mampu tidaknya suami memberi nafkah
• Kemampuan berlaku adil bagi suami

 Somalia
• Hanya dapat dilakukan dengan izin hakim dengan alasa:
• Isteri mandul dengan bukti medis
• Isteri di penjara lebih 2 tahun
• Isteri meninggalkan rumah tanpa izin lebih dari 1 tahun
• Adanya Kebutuhan Sosial


 Libya
• Boleh dengan izin pengadilan
• Ekonomi Suami
• Kondisi Sosial
• Fisik laki-laki yang memohon

 Al-jazair
• Boleh sampai 4
• Ada alasan Hukum dan mampu berbuat adil
• Dapat menjadi penyebab perceraian jika tidak ada persetujuan isteri

3. Pemikiran Tokoh

• Tahir Mahmud: kesimpulan dari perundang-undangan yang ada.
6 Kelompok:
1. Boleh mutlak
2. Poligami dapat menjadi alasan cerai
3. Harus ada izin pengadilan
4. Lewat kontrol sosial
5. Dilarang secara mutlak
6. Dikenakan hukuman bagi pelanggar aturan poligami
Tahir al-Haddad

 Fazlur rahman dan Quraish Shihab
• Membolehkan dengan syarat ada alasan emergen misal istri mandul atau terkena penyakit parah
• Jika dilarang akan timbul perkawinan sirri atau wanita simpanan
• Pengadilan membolehkan asal keadilan materiil maupun immateriil dipenuhi.
Muhammad Ali
• Poligami boleh dalam keadaan tertentu
• Tidak dibolehkan secara umum apalagi dianjurkan

 M. Abduh
• Monogami yang ideal menurut al-Qur’an, Poligami pengecualian

 Ali Asghar E
• Kemandulan dapat dijadikan alasan poligami
Abdullah bin Yusuf Ali
Kesimpulan dari analisis kombinasi tematik dan holistik
• Kebolehan poligami bertujuan untuk memecahkan masalah yang mendesak yakni janda dan anak yatim yang membutuhkan perlindungan
• Ada syarat yang harus dipenuhi
 Syarat pokok mampu berbuat adil terhadap isteri dan anak-anaknya
 mampu memenuhi kebutuhan keluarga
• Ada campur tangan Negara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar