Pages

Kamis, 01 April 2010

HUKUM PERDATA ISLAM

KUMPULAN MAKALAH HUKUM PERDATA ISLAM

1.Pengertian Hukum Perdata Islam

Hukum Perdata Islam adalah bagian dari hukum Islam yang bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain. Dalam terminologi Islam istilah perdata ini sepadan dengan pengertian mua’amalah. Sehingga pengertian Hukum Perdata Islam Indonesia adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf dalam hal perdata (mu’amalah) yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk Islam di Indonesia. Menurut Zainuddin Ali, dalam kedudukannya sebagai fiqh muamalah, Hukum Perdata Islam adalah norma hukum yang dalam pengertian umum memuat aturan-aturan dalam bidang munakahat (hukum perkawinan) dan wirasah atau faraid (hukum kewarisan). Sedangkan dalam pengertian khusus, Hukum Perdata Islam mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, perserikatan, pengalihan hak, serta segala sesuatu yang berkaitan dengan transaksi.

2.Latar Belakang Sejarah
Hukum Perdata Islam di Indonesia dapat dilacak keberadaannya hingga ke masa sebelum kedatangan Belanda. Hukum Islam telah lama hidup dalam kesadaran masyarakat bersamaan dengan masuk dan berkembangnya Islam di nusantara. Hukum Islam menjadi sistem hukum mandiri yang digunakan di kerajaan-kerajaan Islam nusantara. Hal ini terjadi karena pada kenyataannya hukum adat setempat lebih sering menyesuaikan diri dengan hukum Islam. Sehingga antara hukum adat dengan hukum agama tidak ada bedanya, sebagaimana terjadi pada Kasultanan Banten di masa Sultan Ageng Tirtayasa. Maka, tidaklah berlebihan jika dikatakan pada masa tersebut, Hukum Islam telah menjadi hukum positif di nusantara. Kenyataan tersebut didukung oleh bukti-bukti historis yang banyak tersebar dalam catatan sejarah.
Fase kedua perkembangan hukum Islam di Indonesia adalah pada masa penjajahan Belanda. Pada masa ini perkembangan hukum Islam di Indonesia dapat diklasifikasi ke dalam dua bentuk, Pertama, adanya toleransi pihak Belanda melalui VOC yang memberikan ruang agak luas bagi perkembangan hukum Islam. Kedua, adanya upaya intervensi Belanda terhadap hukum Islam dengan menghadapkan pada hukum adat.
Pada fase ini pemerintah kolonial Belanda ingin menata kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda, dengan tahap-tahap kebijakan strategisnya dengan menciptakan teori Receptie in Complexu (Salomon Keyzer & Christian van den Berg (1845-1927). Teori ini menyatakan bahwa hukum itu menyangkut agama seseorang. Jika orang itu memeluk Islam maka hukum Islamlah yang berlaku baginya, meskipun hukum Islam yang berlaku tetaplah hanya dalam masalah hukum keluarga, perkawinan dan warisan.
Teori tersebut berubah drastis dengan munculnya Snouck Hourgronje (1857-1936). Ia mengemukakan Teori Receptie yang menyatakan bahwa hukum Islam baru diterima dan memiliki kekuatan hukum jika diterima oleh hukum adat. Sehingga, dalam teori ini, yang ada hanyalah hukum adat, sementara hukum Islam dianggap tidak ada. Muatan utama teori Receptie adalah devide et impera dan upaya menghambat meluasnya hukum Islam. Pengaruh teori ini bahkan masih mengakar kuat sekalipun Belanda telah enyah dari Indonesia. Bahkan hingga pertengahan dekade 70-an banyak hakim yang masih menyelesaikan sengketa warisan antara orang Islam dengan hukum adat. Sehingga, sangat layak jika Prof. Hazairin menyebut teori Receptie sebagai teori iblis, karena teori tersebut mengajak umat Islam untuk tidak mematuhi al-Qur’an dan sunnah Rasul.
Fase ketiga perkembangan hukum Islam adalah pada masa setelah kemerdekaan. Prof. Hazairin mengatakan, setelah kemerdekaan, walaupun aturan peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan pemerintahan Belanda yang berdasar teori Receptie tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Teori receptie harus enyah (exit) karena bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah Rasul. Selain Hazairin, pengakuan atas keberadaan hukum Islam diperkuat Sayuti Thalib yang mencetuskan teori Receptie a Contrario atau Receptio Exit. Teori ini menyatakan bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.
KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) INDONESIA
1.Pengertian dan Latar Belakang
Term “kompilasi” adalah padanan kata dari bahasa Inggris (compilation) atau bahasa Belanda (compilatie) yang berarti mengumpulkan bersama-sama, seperti mengumpulkan berbagai peraturan yang tersebar berserakan di mana-mana. Mengacu kepada kutipan tersebut, Abdurrahman mengatakan bahwa kompilasi adalah kegiatan pengumpulan berbagai bahan tertulis yang diambil dari berbagai rujukan mengenai suatu persoalan tertentu. Pengumpulan tersebut kemudian dibukukan dalam suatu buku tertentu, yang bertujuan antara lain untuk memudahkan pencarian suatu bahan tertentu dari materi kompilasi tersebut saat diperlukan.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia adalah sebuah hasil dari upaya pengumpulan berbagai aturan hukum, pendapat hukum, serta bahan-bahan hukum tertentu yang kemudian dikumpulkan dalam satu buku. Dalam istilah A. Qodri Azizy, hal itu disebut dengan eklektisisme, yaitu upaya membentuk fiqh yang bernuansa keindonesiaan dengan cara memilah dari berbagai sumber dan doktrin hukum. Pada konteks ini, KHI merupakan sebuah fiqh dalam bahasa perundang-undangan yang terdiri dari bab-bab, pasal-pasal, serta ayat-ayat. Dengan kata lain, KHI merupakan positivisasi hukum Islam di Indonesia. Namun KHI belum merupakan positivisasi seluruh bidang hukum Islam, melainkan baru dalam sebagian bidang muamalah.
Kompilasi Hukum Islam lahir karena adanya keinginan Mahkamah Agung dan Departemen Agama RI untuk mewujudkan adanya tata hukum yang positif dan sistematis. Tata hukum tersebut minimal memuat aturan hukum mengenai perkawinan, waris, hibah, wasiat dan wakaf. Selain itu, terdapat beberapa faktor pendorong yang melatarbelakangi kelahiran KHI. Faktor-faktor tersebut adalah: pertama, adanya keyakinan umat Islam bahwa masalah hukum waris dan hukum keluarga erat sekali kaitannya dengan masalah aqidah. Kedua, terdapat banyak putusan Pengadilan Agama (PA) yang bersifat fluktuatif dan disparitatif. Hal ini berimplikasi pada tidak adanya kepastian hukum. Ketiga, upaya untuk mempercepat proses taqrib baina ummah (kesalingpahaman di antara umat), agar di antara umat Islam muncul sikap untuk saling melakukan pendekatan pemahaman di bidang hukum Islam. Dalam hal ini, keberadaan KHI tersebut diharapkan mampu mengikis jurang khilafiyah dalam bidang hukum keluarga. Keempat, menyingkirkan kecenderungan paham privat affair. Hal ini muncul karena adanya kesalahpahaman dari sebagian umat Islam yang menganggap bahwa hukum Islam adalah urusan pribadi seseorang dengan Tuhannya an sich. Padahal, sebagai suatu sistem, selain terdapat masalah ubudiyah, syariah juga meliputi masalah muamalah yang berkaitan dengan realitas hukum maupun sosial.
Melihat faktor-faktor yang melatarbelakangi kelahiran KHI tersebut, maka sebenarnya KHI muncul karena pertimbangan praktis untuk memudahkan proses penetapan hukum oleh para hakim agama. Sebagaimana dikatakan Abdurrahman, tujuan utama perumusan KHI adalah untuk menyiapkan pedoman yang seragam (unifikatif) bagi hakim Pengadilan Agama dan menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh umat Islam di Indonesia.

2.Proses Penyusunan dan Sumber Rujukan
Sebelum lahirnya KHI, para hakim PA merujuk kepada kitab-kitab fiqh dalam menyelesaikan perkara. Beragamnya kitab-kitab fiqih yang dirujuk oleh masing-masing hakim tersebut mengakibatkan munculnya keragaman keputusan hukum, yang tak jarang terjadi pada kasus yang sama (disparitas). Hal itu berkaitan erat dengan karakter kitab-kitab fiqh yang sarat dengan perbedaan pendapat, perbedaan pendekatan, atau perbedaan sosio-kultural yang melingkupinya. Kondisi semacam itu amat riskan karena berpotensi memunculkan ketidakpastian hukum.
Untuk mengatasi ketidakpastian hukum tersebut, pada Maret 1985 terbitlah Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua MA dan Menteri Agama untuk membentuk proyek Kompilasi Hukum Islam. Proses yang ditempuh tim tersebut dalam upaya menyusun KHI adalah menggunakan metode sebagai berikut:

a.Pengkajian kitab-kitab fiqh dengan melibatkan 7 IAIN se Indonesia untuk mengkaji 38 kitab fiqh.
b.Wawancara dengan para Ulama yang dilakukan terhadap para ulama dari 10 wilayah melalui proses seleksi yang dilakukan oleh Depag.
c.Penelitian Yurisprudensi PA yang dilakukan terhadap putusan PA yang telah dihimpun dalam 15 buku.
d.Studi banding dengan negara lain, yaitu Turki, Mesir dan Pakistan. Materi studi banding meliputi sistem peradilan, syariah law, sumber hukum dan hukum materiil, terutama al-ahwal al-syakhshiyah.
e.Lokakarya dan Seminar yang dilakukan selain sebagai penyempurnaan secara metodologis, juga dimaksudkan sebagai forum untuk menggalang konsensus (ijma’). Dalam lokakarya tersebut disepakati perlunya hukum fiqh yang bercorak Indonesia. Selain itu muncul keinginan agar KHI tersebut dapat diundangkan sebagai UU, namun sebagaian yang lain menginginkan dalam bentuk PP atau Keppres.
Akhirnya, melalui Inpres No. 1/1991, Menteri Agama diinstruksikan untuk menyebarluaskan KHI yang sistematikanya terdiri dari :
Buku I : Hukum Perkawinan (Bab I s/d Bab XIX, pasal 1 – 170);
Buku II : Hukum Kewarisan (Bab I s/d Bab VI, pasal 171 – 214);
Buku III : Hukum Perwakafan (Bab I s/d Bab V, pasal 215 – 229).
Meski isi Inpres tersebut lebih menekankan pada usaha penyebarluasan KHI, namun dari sisi metodologis, substansi KHI adalah tuntutan bagi masyarakat agar secara moral bertanggung jawab untuk melaksanakannya.


1.Asas – Asas dan Prinsip – Prinsip Perkawinan Menurut UU Perkawinan
Yang dimaksud dengan asas dan prinsip perkawinan adalah ketentuan perkawinan yang menjadi dasar dan dikembanagkan dalam materi batang tubuh undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Adapun asas-asas dan prinsip-prinsip perkawinan yang dianut oleh uu perkawinan adalah sebagaimana yang terdapat pada Penjelasan Umum UU Perkawinan itu sendiri sebagai berikut :

2.1Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.
Sesuai pasal 1 yaitu :
“Perkawinan adalah katann lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

2.2Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicacat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta yang juga dimuat dalam daftar pencataatan.
Sesuai pasal 2 ayat 1 yaitu :
“ Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaaannya itu”
dan pasal 2 ayat 2 yaitu :
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”

2.3Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.


Sesuai pasal 3 ayat 1 yaitu :
“Pada dasarnya dalam perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri . Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”
pasal 3 ayat 2 yaitu :
“Pengadilan dapat member ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”
pasal 4 ayat 1 yaitu :
“Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 2 undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan didaerah tempat tinggalnya.”
pasal 4 ayat 2 yaitu :
“Pengadilan dimaksud ayat 1 pasal ini hanya memberikan ijin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila :
a.istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b.istri mendapat cacat badan/atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.istri tidak dapat melahirkan keturunan.”
pasal 5 ayat 1 yaitu :
“Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat 1 undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.adanya perjanjian dari istri/istri-istri;
b.adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
c.adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.”
dan pasal 5 ayat 2 yaitu :
“Perjanjian yang dimaksud pada ayat 1 huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai perjanjiannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya, selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.”

2.4Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat diwujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur.
Disamping itu, perkawinan mempuanyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyata bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin menyebabkan laju kerlahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi.
Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan bahwa untuk kawin baik bagi pria maupun wanita, ialah 19 tahun (sembilan belas) tahun untuk pria dan 16 (enam belas) tahun untuk wanita.
Sesuai pasal 6 ayat 1 yaitu :
“Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai.”
pasal 6 ayat 2 yaitu :
“Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua.”
pasal 6 ayat 3 yaitu :
“Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakann kehendaknya, maka ijin dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mash hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.”
pasal 6 ayat 4 yaitu :
“Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dapat menyatakan kehendaknya.”
pasal 6 ayat 5 yaitu :
“Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2,3 dan 4 pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat 2,3 dan 4 pasal ini.”
pasal 6 ayat 6 yaitu :
“Ketentuan tersebut ayat 1 sampai ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.”
Pasal 7 ayat 1 yaitu :
“Perkawinan hanya dijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.”
Pasal 7 ayat 2 yaitu :
“Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.”
dan pasal 7 ayat 3 yaitu
“Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat 3 dan 4 undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat 2 pasal ini dengan tidak mengurangi yang dmaksud dalam pasal 6 ayat 6.”

2.5Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtrera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan didepan sidang pengadilan.
Sesuai pasal 39 ayat 1 yaitu :
“Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.”
pasal 39 ayat 2 yaitu :
“Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.”
pasal 39 ayat 3 yaitu :
“Tata cara perceraian ddepan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.”
pasal 40 ayat 1 yaitu :
“Gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan.”
dan pasal 40 ayat 2 yaitu :
“Tata cara pengajuan gugatan tersebut pada ayat 1 pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.”

2.6Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.
Sesuai pasal 31 ayat 1 yaitu :
“Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.”
pasal 31 ayat 2 yaitu :
“Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.”
dan pasal 31 ayat 3 yaitu :
“Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.”
Asas dan prinsip perkawinan itu dalam bahasa sederhana adalah saebagai berikut :
1)Asas sukarela
2)Partisipasi keluarga
3)Perceraian dipersulit
4)Poligami dibatasi secara ketat
5)Kematangan calon mempelai
6)Memperbaki derajat kaum wanita

2.Peminangan

3.1 Pengertian
Peminangan dalam ilmu fiqh disebut khithbah artinya permintaan. Menurut istilah, : “Pernyataan atau permintaan dari seorang pria kepada pihak seorang wanita untuk mengawininya baik dilakukan oleh pria itu secara langsung atau dengan perantaraan pihak lain yang dipercayainya sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam peminangan ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.
Peminanagan itu disyariatkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanaanya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah. Keadaan inipun telah membudaya di tengah masyarakat dan dilaksanakan sesuai dengan tradisi masyarakat setempat. Diantaranya pihak pria mengajukan pinangan kepada pihak wanita dan adakalanya pihak wanita yang mengajukan pinangan kepada pihak pria. Syariat menetapkan aturan-aturan tertentu dalam pemingan ini, dalam tradisi Islam sebagaimana tersebut dalam hadits Nabi yang mengajukan pinangan itu adalah dari pihak pria, boleh pria itu sendiri yang datang kepada pihak perempuan untuk menyampaikan pinangannya atau mengutus perempuan yang dipercaya untuk melakukannya, sedangkan pihak wanita berada dalam status yang menerima pinangan.
Mekanisme tentang peminangan sesuai dengan tradisi Islam juga termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu “Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya”.

3.2 Syarat-syarat meminang
Ada dua macam syarat-syarat meminang yaitu :
2.2.1Syarat mustahsinah
Yang dimaksud dengan syarat mustahsinah ialah syarat yang berupa anjuran kepada seorang pria yang akan meminang seorang wanita agar ia meneliti terlebih dahulu wanita yang akan dipinangnya itu, sehingga dapat menjamin kelangsungan kehidupan berumahtanga kelak. Syarat mustahsinah ini bukanlah syarat yang harus dipenuhi sebelum peminangan dilakukan, tetapi hanya berupa anjuran dan kebiasaan yang baik saja. Tanpa syarat-sayarat ini dipenuhi peminangan tetap sah.
Yang termasuk syarat-syarat mustahsinah ialah :
1)Wanita yang dipinang itu hendaknya sejodoh dengan pria yang meminangnya, seperti sama kedudukannya dalam masyarakat, sama-sama baik bentuknya, sama dalam tingkat kekayaaanya, sama-sama berilmu dan sebagainya. Adanya keharmonisan dan keserasian dalam kehidupan suami istri diduga perkawinan akan mencapai tujuannya.
2)Wanita yang dipinang itu hendaklah wanita yang mempunyai sifat kasih sayang dan wanita peranak.
3)Wanita yang dipinang itu hendaklah wanita yang jauh hubungan darah dengan pria yang meminangnya.
4)Hendaklah mengetahui keadaan jasmani, budi pekerti dan sebagainya dari wanita yang dipinang. Sebaliknya yang dipinang sendiri harus mengetahui pula keadaan yang meminangnya.

3.2.1Syarat lazimah
Yang dimaksud dengan syarat lazimah ialah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan . Sahnya peminanagn tergantung kepada adanya syarat-syarat lazimah. Yang termasuk syarat-syarat lazimah ialah :
1)Wanita yang tidak dipinang oleh pria lain atau apabila sedang dipinang oleh pria lain, pria tersebut telah melepaskan hak pinangnya. Sesuai dengan KHI pasal 12 ayat 3 “Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.
2)Wanita yang tidak sedang dalam masa iddah.Haram hukumnya meminang wanita yang dalam masa iddah talak raj’i. Wanita yang dalam masa iddah talak raj’i yang lebih berhak mengawininya kembali ialah bekas suaminya. Bekas suaminya boleh merujuk kapan saja ia kehendaki dalam masa iddah itu. Boleh meminang wanita dengan sindiran wanita-wanita yang dalam masa iddah karena suaminya meninggal. Sesuai dengan KHI pasal 12 ayat 1 “Peminangan dapat dilakukan terhadap wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang habis masa iddahnya”. Dan ayat 2 “Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iah, haram dan dilarang untuk dipinang”.
3)Wanita yang dipinang itu, hendaklah wanita yang boleh dikawin atau dengan perkataan lain ialah bahwa waita yang bukan maharam dari laki-laki yang meminangnya.

3.3 Akibat Hukum Peminangan
Peminangan itu adalah suatu usaha yang dilakukan mendahului perkawinan dan menurut biasanya setelah waktu itu dilangsungkan perkawinan. Namun peminangan itu bukanlah suatu perjanjian yang mengikat untuk dipatuhi. Pria yang meminang atau pihak wanita yang dipinang dalam masa menjelang perkawinan dapat saja membatalkan pinangan tersebut, meskipun dulunya ia menenrimanya. Meskipun demikian, pemutusan peminangan itu mesti dilakukan secara baik dan tidak menyakiti pihak manapun. Pemberian yang diberikan dalam acara peminangan itu tidak mempunyai kaitan apa-apa dengan mahar yang diberikan kemudian dalam perkawinan. Dengan demikian pemberian tersebut dapat diambil kembali bila peminangan itu tidak berlanjut dengan perkawinan.
Hubungan antara pria yang meminang dengan wanita yang dipinanagnya selama masa antara peminangan dan perkawinan itu adalah sebagaimana hubungan pria dengan wanita asing (ajnabi dan ajnabiyyah). Oleh karena itu belum berlaku hak dan kewajiban diantara keduanya dan diantara keduanya haram melakukan saling melihat sebagaimana haramnya saling melihat diantara pria dan wanita yang bukan suami istri atau mahramnya.

A.PENCEGAHAN PERKAWINAN

Pencegahan perkawinan adalah usaha yang menyebabkan tidak berlangsungnya perkawinan. Berbeda dengan pembatalan perkawinan, pencegahan berlaku sebelum terjadi pernikahan sedangkan pembatalan terjadi setelah terjadi perkawinan atau dalam bahasa lain, pembatalan adalah usaha yang dilakukan agar hubungan perkawinan tidak dilanjutkan setelah perkawinan tersebut terjadi secara sah.
Pencegahan dalam kitab-kitab fiqh disebut dengan al-I’tiradl yang berarti intervensi atau penolakan atau pencegahan. Hal tersebut biasa bekaitan dengan hal kafa’ah dan mahar. Kafa’ah dan mahar merupakan harga diri dan gengsi dalam suatu keluarga. Pihak keluarga perempuan biasnya merasa harga dirinya jatuh apabila anak perempuannya kawin dengan laki-laki yang tidak se-kufu’ atau status sosialnya lebih rendah. Demikian pula mahar yang diterima seorang anak perempuan lebih rendah dari apa yang diterima oleh anggota keluarganya yang lain juga menyebabkan timbulnya perasaan harga dirinya jatuh. Untuk menjaga gengsi atau harga diri, anak perempuan akan mengajukan keberatan untuk melangsungkan perkawinan. Tindakan seperti ini disebut dengan al-I’tiradl.
Pencegahan Dalam Perundangan
Di dalam KUH Perdata (BW) tentang pencegahan perkawinan diatur dalam pasal 59-70. UU yang baru yaitu UU no. 1 tahun 1974 (KHI) diilhami oleh hukum perdata lama tersebut (BW). Menurut UU no. 1 th 74 pasal 13-21 tentang pencegahan perkawinan dikatakan bahwa; ”perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Dalam pasal 14 yang dapat melakukan pencegahan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah satu calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan jika:
1.Terdapat pelanggaran umur perkawinan; umur pria kurang dari 19 tahun dan umur wanita kurang dari 16 tahun, kecuali ada dispensasi dari pengadilan.
2.Jika hukum masing-masing agama dan kepercayaan si suami dan si istri, menetukan lain dari pada kehendak si suami dan si istri untuk kawin untuk yang kedua kalinya antara mereka.
3.Terdapat pelanggaran tata cara pelaksanaan perkawinan.
Pencegahan tersebut dilakukan dengan mengajukan permohonan melalui pengadilan agama daerah hukum dimana perkawinan tersebut akan dilaksanakan dan memeberitahukan kepada pegawai pencatat nikah (Pencatatan Sipil atau Kantor Urusan Agama) serta kepada calon mempelai sebelum ada keputusan pengadilan tentang permohonan itu dicabut maka perkawinan belum dapat dilaksanakan. Tata cara pelaksanaan pencegahan perkawinan terdapat dalam pasal 17, 18, 19, 20, dan 21. Juga diatur dalam pasal 65 sampai 69 yang rumusannya hampir mirip dengan pasal sebelumnya.
Pencegahan perkawinan berkaitan sekali dengan larangan perkawinan. Adanya pencegahan pada suatu perkawinan yang akan dilaksanakan pasti disebabkan pelanggaran terhadap larangan perkawinan. Larangan perkawinan tersebut diantaranya:
1.Bilamana antara calon mempelai laki-laki dan calon mempelai wanita terdapat hubungan keluarga dekat, baik hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah, juga dalam hubungan garis keturunan menyamping dan hubungan semenda.
2.Demikian juga terdapat hubungan susuan, yaitu susuan orang tua, anak susuan dan lain-lainnya.
3.Derajat mempelai laki-laki rendah daripada derajat mempelai wanita (kafa’ah).
4.Seorang istri nikah lagi dalam waktu iddah.
5.Seorang suami yang telah beristri empat nikah dengan istri kelima.
6.Seorang istri bersuami nikah lagi dengan laki-laki lain.
7.Pelanggaran larangan nikah mut’ah.
8.Oleh agama atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.

B.PEMBATALAN PERKAWINAN

Pembatalan perkawinan seperti yang telah disebutkan di atas adalah usaha yang dilakukan agar hubungan perkawinan tidak dilanjutkan setelah perkawinan tersebut terjadi secara sah. Istilah “batal”-nya perkawinan dapat menimbulkan salah paham, karena terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal (nietig) tersebut. Batal berarti nietig zonder kracht (tidak ada kekuatan) zonder waard (tidak ada nilai). Dapat dibatalakan berarti nietig verklaard, sedang; abslolut nietig adalah kebatalan mutlak, berarti sejak semula tidak terjadi perkawianan.
Istilah dapat dibatalkan dalam UU ini berarti dapat di-fasidkan, jadi relative nietig. Jadi perkawinan dapat dibatalkan berarti suatu perkawinan sudah terjadi dapat dibatalkan jika para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Sebab-sebab pembatalan suatu perkawinan yaitu:
1.Pelanggaran prosedur perkawinan. Contohnya syarat-syarat wali nikah tidak terpenuhi, tanpa dihadiri oleh saksi-saksi pada saat terjadinya perkawinan, atau dilaksanakan oleh pegawai yang tidak berwenang.
2.Pelanggaran materi perkawinan. Contohnya perkawinan dilaksanakan dibawah ancaman; atau perkawinan yang berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri calon suami atau istri.
Dalam UU no. 1 tahun 1974 pasal 22 dikatakan bahwa, “Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan sebagaimana pasal 23 adalah:
a.Para anggota keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari pihak suami maupun pihak istri.
b.Suami atau istri itu sendiri.
c.Pejabat yang berwenang, tetapi selama perkawinan belum putus.
d.Pejabat yang ditunjuk dan setiap orang yang berkepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
e.Mereka yang dirinya masih terikat perkawinan dengan salah satu calon mempelai, tanpa mengurangi hak pengadilan untuk dapat memberikan izin untuk seorang suami beristri lebih dari seorang dan tidak mengurangi hak seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang mengajukan ke pengadilan untuk kawin lagi.
Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat terjadinya perkawinan (pasal 28 ayat 1). Keputusan pengadilan tersebut tidak berlaku surut terhadap:

1.Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
2.Suami atau istri yang bertindak dengan i’tikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perakawinan didasarkan atas perkawinan lain yang lebih dahulu.
3.Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk anak-anak dan suami atau istri tersebut di atas sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan i’tikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai keputusan hukum yang tetap.
A.Syarat dan rukun perkawinan menurut hukum islam
1.Pengertian
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang mencangkup dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah sesuatu yang berada didalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada diluarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun.
Dalam hal perkawinan, dalam menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat terdapat perbedaan dikalangan ulama’ yang perbedaan ini tidak bersifat subtansional. Perbedaan diatara pendapat tersebut disebabkan oleh karena berbeda dalam melihat fokus perkawinan itu. Semua ulama’ sependapat dalam hal-hal yang terlibat dan yang harus ada dalam suatu perkawinan adalah: akad perkawinan, laki-laki yang akan kawin, perempuan yang akan kawin, wali dari mempelai perempuan, saksi yang menyaksikan akad perkawinan, dan mahar atau mas kawin.
Unsur pokok suatu perkawinan adalah laki-laki dan perempuan yang akan kawin, akad perkawinan itu sendiri, wali yang melangsungkan akad dengan si suami, dua orang saksi yang menyaksikan telah berlangsungnya akad perkawinan itu. Berdasarkan pendapat ini dan begitu pula dalam KHI rukun perkawinan itu secara lengkap adalah sebagai berikut:
a.Calon mempelai laki-laki
b.Calon mempelai perempuan
Adapun mengenai syarat-syarat yang mesti dipenuhi oleh keduanya adalah
a.Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya, baik menyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal lain yang berkenaan dengan dirinya
b.Keduanya sama-sama beragama islam
c.Antar keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan
d.Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula untuk dengan pihak yang akan mengawinkannya
c.Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan perkawinan
Syarat-syarat wali
Telah dewasa dan berakal sehat, Laki-laki, Beragama islam, Merdeka, Tidak berada dalam pengampuan atau mahjur ‘alaih, Berpikiran baik, Adil tidak pernah terlibat dosa besar dan tidak sering melakukan dosa serta tetap memelihara muruah atau sopan santun, Tidak sedang melakukan haji atau umrah.
d.Dua orang saksi
Syarat-syarat saksi
Saksi berjumlah minimal dua orang, Beragama islam, Merdeka, Laki-laki, Dapat mendengar dan melihat, Adil
Di kalangan Nahdliyin saksi yang tidak diketahui tingkah lakunya dalam keseharian apakah adil atau tidak sunat disuruh bertaubat dulu ketika pelaksanaan akad, Tidak bisu dan pelupa, Menghadiri akad nikah dan mengerti maksudnya
e.Ijab yang dilakukan oleh wali dan Kabul yang dilakukan olaeh suami.
Akad nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua , Ijab dari pihak wali perempuan dengan ucapannya: ’’saya kawinkan anak saya yang bernama si fulan kepada mu dengan mahar sebuah kitab alqur’an misalnya”. Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya: “saya terima mengawini anak bapak sifulan dengan mahar sebuah kitab alqur’an”.

Syarat-syarat akad nikah
1.Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul
2.Materi dari ijab dan qobul tidak boleh berbeda, seperti nama si perempuan dan bentuk mahar yang disebutkan.
3.Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambung tanpa terputus
4.Ijab dan qabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang bersifat membatasi masa berlangsungnya perkawinan
Ijab dan qabul mesti menggunakan lafadz yang jelas
Mahar yang harus ada dalam setiap perkawinan tidak termasuk kedalam rukun, karena mahar tersebut tidak mesti disebut dalam akad perkawinan dan tidak mesti diserahkan pada waktu akad itu berlangsung dengan demikian mahar itu termasuk kedalam syarat perkawinan.
A.Menurut Undang-Undang Perkawinan di Indonesia
Undang-undang perkawinan sama sekali tidak berbicara tentang rukun perkawinan. Undang-undang perkawinan hanya membicarakan syarat-syarat perkawinan, yang mana syarat-syarat tersebut lebih banyak berkenaan dengan unsur-unsur atau rukun perkawinan.
Syarat-syarat perkawinan
1.Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon memepelai. Jadi dalam perkawinan ada kebebasan kehendak dan dihindari unsur paksaan.
2.Seorang yang belum mencapai umur 21 tahun mendapatkan izin dari orang tuanya, dalam undang-undang ditentukan untuk pihak pri sudah mencaopai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapain umur 16 tahun. Ketentuan itu menegaskan bahwa mereka yang berumur 21 tahun keatas tidak memerlukan izin orang tuanya.
3.Jika salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya. Izin cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4.Jika kedua orang tua meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknnya izin diperoleh dari wali yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknnya
5.Dalam hal terdapat perbedaan pendapat diantara mereka atau jika seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya maka pengadilan dalam daerah hokum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang disebutkan diatas.
6.Hal-hal yang disebutkan dimuka angka satu sampai lima, berlaku sepanjang hokum masing-masing agama dan kepercayaan tidak menentukan lain.
Perkawinan Antar Agama
1.Pengertian
Perkawinan antar/beda agama adalah perkawinan dua insan yang berbeda agama, kepercayaan atau. Pernikahan antar agama yang dimaksud adalah pernikahan yang dilakukan antara seseorang yang beragama Islam (Muslim atau Muslimah) dengan orang non-Muslim atau non muslim dengan non muslim, baik yang dikategorikan sebagai orang musyrik maupun ahli kitab. Masalah pernikahan lintas agama ini selalu menjadi bahan perdebatan dikalangan ulama
Perkawinan antar agama disini dapat terjadi (1) calon isteri beragama Islam, sedangkan calon suami tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik, dan (2) calon suami beragama Islam, sedangkan calon isteri tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik atau sama non muslim.

Pernikahan Beda Agama Menurut Agama-agama yang ada di Indonesia
Semua agama yang ada dan diakui keberadaannya dalam Negara Republik Indonesia, pada hakikatnya, berpendapat bahwa perbedaan agama merupakan halangan bagi pria dan wanita untuk melangsungkan pernikahannya secara sah. Sebagai contoh, agama Katolik, Protestan dan Islam, agama-agama yang relative banyak pemeluknya di tanah air.
Agama Katolik dengan tegas menyatakan bahwa “Pernikahan atara seorang katolik dengan penganut agama lain, tidak sah (Kanon 1086). Namun demikian bagi mereka yang tidak dapat dipisahkan lagi karena cintanya sudah terlanjur mendalam, pejabat gereja yang berwenang yakni uskup dapat memberi despensasi dengan jalan menikahkan pemeluk agama katolik dengan pemeluk agama lain, asal saja keduanya memenuhi syarat yang ditentukan hukum gereja dalam Kanon 1125 yakni 1) yang beragam Katolik berjanji (i) akan tetap setia pada iman Katolik, dan (ii) berusaha mempermandikan dan mendidik semua anak-anak mereka secara Katolik, sedang (2) yang tidak beragama Katolik berjanji antara lain (i) menerima pernikahan secara Katolik, (ii) tidak akan menceraikan pihak yang beragama Katolik, (iii) tidak akan menghalang-halangi pihak yang Katolik melaksanakan imannya, dan (iv) bersedia mendidik anak-anaknya secara Katolik.
Menurut pandangan Greja Katolik, perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda akan menimbulkan berbagai konflik atau pertentangan dalam kehidupan keluarga atau rumah tangga. Konflik-konflik yang akan timbul adalah konflik iman, konflik batin, konflik hak asasi, konflik system nilai, konflik kewajiban asasi terhadap anak, konflik kejiwaan dan kebingungan pada anak-anak dan konflik-konfilik yang lainnya terutama setelah api cinta tidak lagi menyala. Oleh karena itu, menurut agama Katolik, pernikahan antara orang-orang yang berbeda agama hendaklah dihindari.
Gereja dapat mengizinkan perkawinan antara orang yang berbeda agama yaitu orang-orang Kristen dengan orang yang beragam lain, asal dipenuhi beberapa syarat yang ditetapkan oleh masing-masing gereja, yang berbeda satu dengan yang lain. Gereja Kresten Indonesia, misalnya, menetapkan antara lain, (1) yang beragama Kristen Protestan harus menanda tangani suatu perjanjian yang berisi (i) tetap akan melaksanakan iman Kristennya (ii) akan membaptis anak-anak yang lahir dari perkawinan itu secara Kristen, dan (iii) berjanji akan mendidik anak-anak mereka secara Kristen. (2) yang bukan beragama Kristen Protestan harus menandatangani surat pernyataan, bahwa ia (i) tidak keberatan perkawinan dilaksanakan di gereja Protestan, (ii) tidak keberatan anak-anak mereka dididik secara Protestan.
Oleh karena itu, komperensi Wali Gereja Indonesia (Katolik) dan Persatuan Gereja Indonesia (Protestan) dalam seminarnya tentang perkawinan antara pemeluk agama yang berbeda, yang diselenggarakan di Malang tanggal 12-14 Maret 1987, memutuskan mengenai perkawinan Lintas Agama antara lain sebagai berikut (i) Perkawinan campuran berbeda gereja sudah sepenuhnya diterima antara gereja-gereja anggota Persatuan  Gereja Indonesia (PGI=Protestan), (ii) perkawinan antara Protestan dengan Katolik, pada umumnya, sudah diterima (juga) berdasar banyaknya persamaan, (iii) perkawinan antara Protestan dan Katolik sudah semakin umum dilaksanakan secara pindah Gereja.
Mengenai perkawinan antar orang-orang yang beda agama. Melalui syari’at atau hukum agamanya, Islam telah mengaturnya secara jelas dalam al-Qur’an surat –surat al-Baqarah (2): 221, al-Mumtahanah (60): 10, dan al-Maidah (5): .
Menurut Undang-Undang Perkawinan Indonesia
Undang-undang perkawinan yang mulai berlaku secara efektif tanggal 1 oktober 1975 mempunyai ciri khas kalau dibandingkan dengan hukum perkawinan sebelumnya terutama dengan undang-undang atau peraturan perkawinan yang dibuat oleh dan diwariskan oleh pemerintah kolonial belanda dahulu yang menganggap perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita hanyalah hubungan sekuler, hubungan sipil atau perdata saja, lepas sama sekali dengan agama atau hukum agama. Undang-undang perkawinan yang termaktub dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 berasaskan agama. Artinya sah tidaknya perkawinan seseorang ditentukan oleh hukum agamanya. Ini sesuai dengan cita hukum bangsa Indonesia yakni Pancasila dan salah satu kaidah fundamental Negara yaitu ketuhanan yang Maha Esa yang disebut dalam pembukaan dan dirumuskan dalam batang Tubuh Undang Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 bab Agama. Pasal 2 ayat 1 Undang Undang perkawinan dengan tegas menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Perkawinan dianggap sah apabila diakui oleh negara. Diakui oleh negara berarti harus telah memenuhi syarat-syarat dan acara-acara yang ditentukan oleh hukum positif.
Apakah Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 memperbolehkan atau melarang perkawinan antar agama?, Menurut hemat penulis, untuk menjawab pertanyaan tersebut hanya ada dua pasal dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tersebut yang dapat kita jadikan sebagai pedoman, yaitu :
Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Menurut pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut yaitu perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Yang dimaksud dengan hukum agamanya dan kepercayaannya itu termasuk juga ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya tersebut sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Hal ini berarti undang-undang menyerahkan kepada masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-syarat pelaksanan perkawinan tersebut disamping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh negara. Jadi apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah para calon mempelai telah memenuhi syarat-syarat atau belum disamping tergantung kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing.
Pasal 8 (f) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku , dilarang kawin.
Dari ketentuan pasal 8 (f) tersebut diatas dapat diartikan bahwa disamping ada larangan-larangan yang disebutkan didalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan-peraturan lainnya juga ada larangan-larangan yang bersumber dari hukum masing-masing agamanya.
Namun demikian Dapat ditarik kisimpulan UU Perkawinan tidak memberi larangan yang tegas mengenai perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki agama/keyakinan yang berbeda. Hal ini menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di kalangan masyarakat. Sebagian berpendapat bahwa perkawinan tersebut tidak sah karena tidak memenuhi baik ketentuan yang berdasarkan agama, maupun berdasarkan Undang-undang negara. Sementara, di sisi lain, ada pihak yang berpendapat berbeda. Perkawinan antara pasangan yang berbeda-agama sah sepanjang dilakukan berdasarkan agama/keyakinan salah satu pihak.
Prof. Wahyono Darmabrata menyebutkan ada 4 cara yang populer ditempuh oleh pasangan beda-agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan, yaitu:
1.Perkawinan dilakukan dengan meminta penetapan pengadilan.
2.Perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama.
3.Penundukan sementara pada salah satu hukum agama
4.Perkawinan dilakukan di luar negeri.
  Untuk cara yang keempat, UU Perkawinan memberikan ruang yang dapat digunakan sebagai sarana untuk melegalkan perkawinan tersebut. Pasal 56 UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan, bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. Selanjutnya disebutkan bahwa dalam waktu 1 tahun setelah suami dan isteri tersebut kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.
  Namun, menurut Prof. Wahyono Darmabrata, perkawinan yang demikian tetap saja tidak sah sepanjang belum memenuhi ketentuan yang diatur oleh agama, Artinya, tetap perkawinan yang berlaku bagi warga negara Indonesia harus memperhatikan kedua aspek, yaitu aspek Undang-undang dan aspek hukum agama.

A.Pencatatan Perkawinan
Peraturan perundang-undangan yang mengatur pencatatan perkawinan adalah :
1.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 Tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang RI Tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di seluruh daerah luar Jawa dan Madura. Diberlakukannya Undang-Undang ini berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 2 Ayat 1 yang menyebutkan bahwa: Pencatatan perkawinan bagi yang beragama Islam dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tersebut
2.Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 Ayat 1
3.Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 sampai dengan Pasal 11
4.Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 Tentang kewajiban Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dan Tata Kerja Peradilan Agama dalam melaksanakan Peraturan Undang-Undang Perkawinan bagi yang beragama Islam
5.Kompilasi Hukum Islam Buku I Tentang Perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa Pencatatan Perkawinan merupakan suatu tahapan agar perkawinan memiliki kekuatan hukum. Kompilasi Hukum Islam hanya memuat hukum-hukum materiil mengenai perkawinan menurut ajaran Islam dan tidak lagi memuat hal-hal yang bersifat teknis seperti yang telah disebutkan dalam peraturan-peraturan sebelumnya.
Apabila pasal-pasal mengenai pencatatan perkawinan dicermati, nampak yang dimaksud pencatatan itu adalah sebuah proses yang melalui beberapa tahapan mulai dari pemberitahuan kehendak nikah sampai dengan penandatanganan akta perkawinan oleh pihak-pihak yang telah ditentukan setiap orang yang hendak melakukan pernikahan harus melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
1.Pemberitahuan kehendak nikah kepada PPN (Pasal 3 Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 5 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975), bagi umat Islam, PPN yang dimaksud adalah PPN atau penbantu PPN yang mewilayahi tempat dilangsungkannya akad nikah (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946, Pasal 5 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975). Pemberitahuan ini dapat dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau orang tua/wakilnya.
2.Pemberitahuan bertujuan agar PPN dapat memeriksa apakah perkawinan dapat dilangsungkan. PPN memeriksa data yang ditemukan apakah terdapat halangan yuridis (Pasal 5-6 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 7 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975) selain itu pemeriksaan terhadap surat-surat seperti dalam pasal 6 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 8 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975)
3.Apabila ternyata hasil penelitian tidak terdapat halangan, maka segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya
4.Kemudian PPN menempelkan surat pengumuman di KUA (Pasal 8 PP Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 19 PERMENAG) dalam pengumuman itu dimuat identitas calon dan waktu perkawinan dilangsungkan (Pasal 9 PP Nomor 9 Tahun 1975)
5.Perkawinan dilaksanakan hari kesepuluh setelah pengumuman (Pasal 10 Ayat 1 PP Nomor 9 Tahun 1975), akad nikah dilakukan menurut ajaran agama mempelai (Pasal 2 Ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 10 Ayat 2 PP Nomor 9 Tahun 1975)
6.Lalu proses perkawinan memasuki tahap akhir yaitu penandatanganan akta perkawinan, dengan ditandantanganinya akta, maka perkawinan telah tercatat secara resmi (Pasal 11 PP Nomor 9 Tahun 1975)

B.Akta Perkawinan
Yang dimaksud akta perkawinan adalah daftar besar (dahulu Register Nikah) yang memuat antara lain sebagai berikut :
1.Nama, tempat dan tanggal lahir, Agama/Kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami isteri ; Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu.
2.Nama, Agama/Kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka;
3.Izin yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (2) (3) (4) dan (5) Undang-undang
4.Dispensasi yang dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) Undang-undang
5.Izin pengadilan sebagi dimaksud dalam pasal4 Undang-undang ;
6.Persetujuan sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat 1 Undang-undang ;
7.Izin dari Pejabat yang ditunjuk oleh menteri HANKAM/PANGAB bagi Angkatan bersenjata;
8.Perjanjian perkawinan apabila ada ;
9.Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam.
10.Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.
Selain hal itu, dalam Akta Nikah dilampirkan naskah perjanjian perkawinan yang biasa disebut taklik talak yaitu teks yang dibaca oleh suami sesudah akad nikah sebagai janji setia terhadap istrinya. Sesudah pembacaan tersebut kedua mempelai menandatangani Akta Nikah dan salinannya yang telah disiapkan Pegawai Pencatat Nikah berdasarkan ketentuan yang berlaku.setelah itu, diikuti penandatangan oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat Nikah yang menghadiri akad nikah. Kemudian wali nikah atau yang mewakilinya, juga turut serta bertanda tangan. Dengan penandatangan Akta Nikah dan salinannya maka perkawinan telah tercatat secara yuridis nornatif.
Akta perkawinan dibuat rangkap dua, helai pertama disimpan oleh PPN, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan itu berada. Adapun kedua mempelai diberi kutipan akta nikah.
Buku nikah ini tidak memuat semua hal yang terdapat dalam akta perkawinan, tetapi beberapa hal yang penting. Kutipan akta nikah ini menjadi bukti autentik bagi perkawinan, karena dibuat oleh pegawai umum yang berwenang. Sehingga dapat menjadi jaminan hukum bila terjadi salah seorang suami atau istri melakukan suatu tindakan yang menyimpang. Selain itu, Akta Nikah juga berfungsi untuk membuktikan keabsahan anak dari perkawinan itu, sehingga tanpa akta dimaksud, upaya hukum ke pengadilan tidak dapat dilakukan. Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Apabila suatu kehidupan suami isteri berlangsung tanpa Akta Nikah karena adanya suatu sebab, Kompilasi hukum Islam membuka kesempatan kepada mereka untuk mengajukan permohonan isbat nikah kepada Pengadilan Agama sehingga bersangkutan mempunyai kekuatan hukum dalam ikatan perkawinannya. Adapun yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. Pencatatan perkawinan dan aktanya, merupakan sesuatu yang penting dalam hukum perkawinan Islam. Hal ini didasari oleh firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 282 yaitu :
                                 .................. 
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya………….. (QS : Al-Baqarah :282)

Berdasarkan terjemahan terjemahan diatas, para pemikir hukun Islam dahulu tidak ada yang menjadikan dasar pertimbangan dalam perkawinan mengenai pencatatan dan aktanya, sehingga mereka menganggap bahwa hal itu tidak penting. Namun, bila diperhatikan perkembangan ilmu hukum saat ini pencatatan perkawinan dan aktanya mempunyai kemaslahatan. Dengan demikian, pelaksanaan peraturan pemerintah yang mengatur tentang pencatatan dan pembuktian perkawinan dengan akta nikah merupakan tuntutan dari perkembangan hukum dalam mewujudkan kemaslahatan umum di Negara Republik Indonesia.
Melalui kajian ini dapat dipahami bahwa pencatatan perkawinan dan akta nikahnya merupakan ketentuan yang perlu diterima dan dilaksanakan oleh penduduk yang mendiami wilayah Negara Republik Indonesia. Pemikiran itu didasari oleh metodologis asas yang kuat, yaitu qiyas dari ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan muamalah Al-Baqarah ayat 282 dan maslahah mursalah dari perwujudan kemaslahatan.

C.Perjanjian perkawinan
Perjanjian perkawinan menurut asalnya merupakan tujuan dari kata “huwelijkse voorwaarden” yang ada dalam BW. Howelijkse sendiri menurut bahasa berarti perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Namun menurut masing-masing kata, dalam kamus bahasa dapat diartikan :
1.Perjanjian adalah persetujuan syarat, tenggang waktu, kesepakatan baik lisan maupun tulisan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih untuk ditepati.
2.Perkawinan adalah pernikahan atau hal-hal yang berhubungan dengan kawin.
Perjanjian perkawinan beda dengan perjanjian yang lain seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar. Perjanjian biasa pada pokoknya membebaskan para subyeknya untuk menentukan isinya, asal saja tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Dalam suatu perkawinan isi perjanjian serta akibat hukum dan aturan yang menyangkut dalam suatu perkawinan sudah sejak semula ditentukan oleh hukum.
1.Dasar Hukum Perjanjian
Membuat perjanjian dalam perkawinan hukumnya mubah, artinya boleh seseorang untuk membuat dan boleh tidak membuat. Namun kalau sudah dibuat bagaimana hukum memenuhi syarat yang terdapat dalam perjanjian perkawianan itu, menjadi perbincangan di kalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa memenuhi syarat yang dinyatakan dalam bentuk perjanjian itu hukumnya adalah wajib sebagaimana hukum memenuhi perjanjian lainnya; bahkan syarat-syarat yang berkaitan dengan perkawinan lebih berhak untuk dilaksanakan.
a.Al-Qur’an surat An-Nisaa ayat 128
                                
Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz[357] atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya[358], dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir[359]. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS: An-Nisaa :128)
Karena sifatnya ijtihadi, maka pengambilan dasar hukumnya dapat diadopsi dari masalah yang telah dahulu ada yang secara konsep paling tidak mempunyai kedekatan dalam maksudnya.
b.Al-Hadits
Hal ini ditegaskan oleh hadits Nabi dari ‘Uqbah bin ‘Amir menurut jemaah ahli hadits :
أحق الشروط بالوفاء ما استحللتم بهالفروج
Artinya : Syarat-syarat yang paling layak untuk dipenuhi adalah syarat yang berkenaan dengan perkawinan
Al-Syaukaniy menambahkan alasan lebih layaknya memenuhi persyaratan yang berkenaaan dengan perkawinan itu adalah karena urusan perkawinan sesuatu yang menuntut kehati-hatian dan pintu masuknya sangat sempit.
c.Kaidah Fiqhiyah
الأصل فى الأشياء الاباحة حتى يدل الدليل على التحريم
Artinya Bahwasannya pada prinsipnya segala sesuatu itu boleh hukumnya, kecuali kalu ada dalil yang mengharamkannya.
Perjanjian dalam pelaksanaan perkawinan diatur dalam pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yakni sebagai berikut :
1.Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut
2.Perkawinan tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
3.Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4.Selama perkawinan dilangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Penjelasan pasal 29 tersebut menyatakan bahwa perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk taklik talak. Namun pasal 11 dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 menyebutkan suatu peraturan yang bertentangan. Hal itu diungkapkan sebagai berikut :
1.Calon suami istri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam
2.Perjanjian yang berupa taklik talak dianggap sah kalau perjanjian itu diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan
3.Sighat taklik talak ditentukan oleh Menteri Agama.
Isi pasal 11 tersebut, dirinci oleh pasal 45 sampai pasal 52 KHI, yaitu kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk taklik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Perjanjian perkawinan yang dijelaskan oleh Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, telah diubah atau setidaknya diterapkan bahwa taklik talak termasuk salah satu perjanjian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam seperti dijelaskan di bawah ini Pasal 46 KHI
1.Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
2.Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama.
3.Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Naskah taklik talak tersebut perlu diperiksa secara telliti oleh Pegawai Pencatat Nikah berdasarkan Pasal 26 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975, hal itu, diungkapkan sebagai berikut :
1.Apabila pada waktu pemeriksaan nikah calon suami isteri telah menyetujui adanya taklik talak sebagai dimaksudkan Pasal 11 ayat 3 peraturan ini, maka suami mengucapkan dan menandatangani taklik talak yang telah disetujuinya itu setelah akad nikah dilangsungkan.
2.Apabila dalam pemeriksaan nikah telah ada persetujuan adanya taklik talak akan tetapi setelah akad nikah suami tidak mau mengucapakannya, maka hal ini segera diberitahukan kepada pihak isterinya.
Ketika menerima gugatan perceraian dari pihak isteri dengan alasan pelanggaran perjanjian dalam taklik talak, Pengadilan Agama harus benar-benar meneliti apakah sang suami menyetujui dan mengucapkan sighat taklik talak atau tidak. Secara yuridis formal, persetujuan dan pembacaan sighat taklik talak dapat dilihat pada akta nikahnya, mesti tidak atau belum sepenuhnya dapat dijamin kebenarannya. Kalau suami menandatangani di bawah sighat taklik talak, ia dianggap menyetujui dan membaca sighat tersebut, kecuali ada keterangan lain.
Apabila memperhatikan sighat taklik talak dapat dipahami bahwa maksud yang kandungannya amat baik dan positif kepastian hukumnya, yaitu melindungi perempuan dari kesewenang-wenangan suami dalam memenuhi kewajibannya, yang merupakan hak-hak sang isteri yang harus diterimamya. Meskipun sang isteri sudah mendapat hak, baik hak khulu’ maupun hak fasakh. Oleh karena itu, amat penting untuk memperhatikan persetujuan suami yang dibuktikan dengan membubuhi tanda tangan atau tidak setuju membubuhkan tanda tangan pada sighat taklik talak. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari terjadi kekeliruan dan kesulitan dalam menyelesaikan persoalan yang muncul dari sighat yang dimaksud. Selain itu, perjanjian perkawinan dapat juga dibuat oleh kedua belah pihak mengenai harta bersama dan hal-hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Perjanjian perkawinan diatur oleh Pasal 47 -52 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut :
Pasal 47
1.Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
2.Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.
3.Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
Pasal 48
1.Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
2.Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.
Pasal 49
1.Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
2.Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.
Pasal 50
1.Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah
2.Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan
3.Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan suami isteri dalam suatu surat kabar setempat.
4.Apabila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.
5.Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.
Pasal 51
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada isteri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.
Pasal 52
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga dan keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dinikahinya itu.

POLIGAMI, HAK DAN KEWAJIBAN ISTERI
A.Alasan, Syarat dan Prosedur Poligami
Pengadilan agama baru dapat memberikan izin kepada suami untuk berpoligami apabila ada alasan yang tercantum dalam pasal 4 ayat 2 UU Perkawinan 1/1974 :
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Disamping syarat-syarat tersebut yang merupakan alasan untuk dapat mengajukan poligami juga harus dipenuhi syarat-syarat pendukung yaitu :
1. Adanya persetujuan dari istri
2. Ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anaknya
3. Ada jaminan bahwa suami berlaku adil terhadap para istri dan anak-anaknya.
Adanya jaminan ini dengan memperlihatkan :
1. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja.
2. Surat keterangan pajak penghasilan.
3. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.

Dalam Undang-Undang Perkawinan hak-hak dan kewajiban suami-istri dirumuskan dalam pasal 30 : Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
Untuk dapat mencapai tujuan itu maka para pihak-pihak yang melaksanakan perkawinan harus saling mengadakan pendekatan dengan jalan :
1.Saling berkorban, sebab tanpa adanya pengorbanan maka tujuan dari perkawinan tentu sukar untuk dicapai.
2.Berbudi pekerti yang tinggi sebagai sarana mewujudkan rumah tangga sebab keluhuran tidak lepas dari pengertian akhlak dan moral.


A. hak dan kewajiban yang bersifat bukan kebendaan
Perkawinan adalah merupakan suatu perjanjian perikatan antara suami-istri , yang tentunya akan mengakibatkan timbulnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kedua belah pihak.
Yang dimaksud dengan hak adalah suatu yang merupakan milik atau dapat dimiliki oleh suami atau istri yang diperolehnya dari hasil perkawinan. Hak ini juga dapat dihapus apabila yang berhak rela apabila haknya tidak dipenuhi atau dibayar oleh pihak lain. Adapun yang dimaksud dengan kewajiban adalah hal-hal yang wajib dilakukan atau diadakan oleh salah seorang dari suami istri untuk memenuhi hak dari pihak lain.
Adapun hak-hak dan kewajiban suami-istri dalam perkawinan itu ada yang merupakan hak-hak kebendaan, misalnya : hak atas nafkah, dan hak bukan kebendaan, misalnya : hak dan kewajiban bergaul baik sebagai suami-istri di dalam hidup berumah tangga.
Adapun hak-hak dan kewajiban suami-istri yang diatur dalam Al Qur’an dan Hadits Nabi adalah Pergaulan suami-istri yang baik dan tenteram dengan rasa cinta-mencintai dan saling harga-menghargai. Jadi diharapkan di dalam pergaulan suami-istri, baik dalam hubungan orangnya maupun yang bersangkutan dengan harta benda dilaksanakan dengan baik dan penuh kejujuran.
Termasuk di dalam pergaulan yang baik bagi suami-istri adalah menjaga rahasia masing-masing. Artinya suami harus menjaga rahasia yang ada pada istrinya, demikian sebaliknya si istri juga wajib menjaga rahasia suaminya. Perkawinan juga harus berdasarkan saling cinta-mencintai, yang berarti pula saling memerlukan dalam hubungan sex sebagai suami-istri, terutama bagi suami-istri yang masih muda. Untuk yang sudah tua dibutuhkan rasa saling memerlukan dan saling membela, yang di dalam Al Qur’an disebut “rahmat”
Dengan saling menggabungkan ketentuan yang tersebut di atas, Maka pada pokoknya pergaulan suami-istri dalam perkawinan hendaknya :
1.Pergaulan yang baik atau saling menjaga rahasia masing-masing.
2.Pergaulan yang tenteram.
3.Pergaulan yang saling cinta-mencintai.
4.Pergaulan yang disertai rahmat yaitu saling memerlukan dan membela di masa tua.
B. Hak dan kewajiban yang bersifat kebendaan
Adapun Hak dan kewajiban yang bersifat kebendaan adalah :
1.Suami wajib memberikan nafkah pada istrinya
2.Suami sebagai kepala keluarga
3.Istri wajib mengatur rumahtangga dengan baik

B.Kewajiban suami-istri dalam rumahtangga
Kewajiban suami-istri dalam rumahtangga ini harus diartikan secara timbal balik bahwa apa yang menjadi kewajiban suami adalah merupakan hak dari istri, demikian sebaliknya apa yang menjadi kewajiban istri adalah hak bagi suami.
Mengenai kewajiban suami istri ini diatur dalam pasal 33 dan 34 yang pada dasarnya adalah sebagai berikut :
a.Kewajiban secara timbal balik yang bersifat bukan kebendaan, yaitu :
1.Antar keduanya harus saling cinta mencintai
2.Harus saling hormat menghormati
3.Wajib setia antar suami istri
4. Kewajiban bantu membantu antara suami istri
b.Kewajiban secara timbal balik yang bersifat kebendaan, yaitu :
1.Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2.Istri wajib mengatur rumahtangga dengan sebaik-baiknya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar